Oleh: Ananta Damarjati
Umumnya manusia adalah multimodal perceptor. Dalam kadar yang seimbang, kita menyerap pemahaman berdasar gabungan informasi yang diterima indera mata, bulu-bulu di kulit, lidah, hidung, dan telinga. Jika salah satu indera terganggu, seluruh bangunan persepsi kita biasanya ikut terganggu.
Pandangan umum tersebut barangkali berlaku kepada semua orang, termasuk Zaskia Adya Mecca, yang, beberapa waktu lalu merasa telinganya terganggu oleh cara seorang pemuda membangunkan sahur di lingkungannya. Pemuda itu berteriak “Sahuurr!” lewat pengeras suara masjid. Teriakan pekaknya membuat Zaskia menaruh persepsi miring pada praktik yang sebenarnya terjadi di hampir seantero bumi persada ini.
Meski patut disayangkan, kritik Zaskia tidak bisa disalahkan. Sebaliknya, pemuda yang berteriak itu juga tak bisa disalahkan. Akan tetapi andaikata masjid di lingkungan Zaskia punya pengeras suara yang kualitasnya bagus, mungkin, drama toa masjid itu tidak akan terjadi.
Faktanya, masih banyak pengeras suara di masjid Indonesia berkualitas sember. Dalam Penelitian Kinerja Akustik Masjid di Indonesia yang pernah dilakukan oleh R.M Soegijanto, bahkan diketahui ada sebanyak 90% masjid di Jakarta dan Bandung yang tata suaranya buruk.
Persentase tersebut mungkin sudah banyak berubah lantaran penelitian itu sendiri dilakukan pada 2001. Tetapi, ia bisa menjadi titik berangkat yang otoritatif mengingat R.M Soegijanto adalah ahli fisika akustik. Di sisi lain, kita masih acap mendengar buruknya kualitas suara masjid bahkan hingga sekarang.
Apalagi kalau ditelisik, masih banyak masjid Indonesia menggunakan speaker corong merk TOA. Dilansir dari laman Tech Me Audio, rentang frekuensi yang dimiliki speaker corong berada dalam rentang yang disebut presence. Pada rentang ini, suara yang dihasilkan bisa sangat menjengkelkan dan iritatif bagi telinga manusia.
Upaya Besar Perbaiki Cara Dakwah
Tidak sedikit umat Islam lupa bahwa, dulu, Nabi Muhammad menunjuk Bilal bin Rabah untuk mengumandangkan azan bukan semata karena suaranya yang lantang. Tetapi juga sebab Bilal punya akar akustik yang merdu. Dalam konteks pengeras suara di masjid-masjid kita, banyak pengelola masjid hanya mengejar unsur pertama, tapi nyaris melupakan unsur kedua dari suara Bilal itu.
Dalam konteks azan demikian, dan mengingat bahwa azan memiliki keutamaan pada dakwah Islam, maka menjadi penting untuk para marbot masjid menjaga martabat suara muazin agar tetap lantang, merdu, sekaligus membekas di telinga pendengar.
Dengan sendirinya, yang dibutuhkan masjid kita sekarang tentu saja adalah teknologi sekaligus manpower yang memahami sisik-melik tata akustik. Merekalah sejatinya garda depan sebuah dakwah. Sebab, keberadaan mereka menentukan apakah azan bisa tetap terjaga sebagai ‘panggilan mulia’, atau semakin direduksi sebagai ‘suara berisik’.
Jadi, manpower masjid bertugas bukan sekadar menaikkan dan menurunkan volume speaker saat azan berkumandang. Penting pula bagi mereka memahami, ambil contoh, soal tekanan suara (Sound Pressure Level, SPL).
Pengetahuan SPL barangkali teramat penting. SPL dihitung dengan satuan desibel (dB). Pada umumnya, manusia dapat mentolerir SPL terhitung antara 60 dB sampai 80 dB. Seterusnya, telinga manusia akan mulai tidak nyaman jika mendengar tekanan suara dalam kisaran 90 dB sampai 120 dB.
Suara-suara yang membuat telinga manusia tidak nyaman itu antara lain ialah vacuum cleaner (80 dB), motor (100 dB), gergaji mesin (110 dB), bor listrik (114 dB), dan petir (120 dB).
Masalahnya, speaker corong yang umum dipakai masjid-masid kita rata-rata memiliki tekanan suara 110 dB. Itu setara dengan gergaji mesin atau hanya terpaut 10 dB dari batas ketidaknyamanan pendengaran manusia.