BARISAN.CO – Kekerasan dan pelecehan seksual menjadi bom waktu di era sekarang ini. Pelaku bahkan menyasar kepada anak-anak.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sepanjang Januari hingga September 2021, jumlah kekerasan terhadap anak sebanyak 5.206 laporan. Dari jumlah tersebut, setidaknya 672 kasus anak yang menjadi korban kejahatan seksual.
Angka tersebut terbilang tinggi, terlebih masih banyak korban tidak melapor. Kekerasan dan pelecehan seksual harus menjadi prioritas terutama agar dapat mencegahnya.
Akan tetapi, tak banyak orang yang mau terlibat langsung. Tidak boleh ada yang menganggap remeh kasus kekerasan dan pelecehan seksual. Sebab, siapa pun dapat menjadi korban.
Kekerasan seksual mengacu pada kontak atau perilaku seksual, umumnya mengarah ke fisik yang terjadi tanpa persetujuan korban. Sedangkan pelecehan seksual termasuk seksual secara verbal maupun fisik.
Mengutip RAINN, pelecehan seksual umumnya melanggar hukum perdata, bukan bagian tindakan kriminal. Sedangkan kekerasan seksual biasanya mengacu pada tindakan yang bersifat kriminal.
Beberapa bentuk kekerasan seksual, antara lain ialah penetrasi tubuh korban atau pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan memaksa berpelukan atau sentuhan seksual.
Edukasi Pencegahan
Tidak ingin kejadian buruk menimpa pada anak-anak, Sri Aisyah bersama Barisan Emak-Emak Milenia (BEM) bergerak untuk memberikan edukasi agar dapat mencegah kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Ia bersama ibu-ibu lainnya, tanpa kenal lelah berpindah dari satu tempat ke tempat lain bahwasanya kasus kekerasan dan pelecehan seksual sudah dalam kondisi yang serius.
Bukan hanya orang dewasa, namun juga, anak-anak dapat menjadi korban. Dengan semangatnya, ia ingin melindungi para generasi penerus bangsa agar terhindar dari kekerasan dan pelecehan seksual.
“Kami memberikan pemahaman kepada orang tua bahwa untuk dapat mencegahnya, anak harus diberi tahu bagian tubuh mana saja yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang dewasa,” kata Aisyah kepada Barisanco.
Aisyah menambahkan dalam memberikan penjelasan yang rinci, mereka menggunakan bahasa keseharian agar ibu-ibu dapat mencernanya dengan mudah.
Meski, ia menghadapi berbagai rintangan di lapangan. Namun, Aisyah yakin jika hal baik yang ia lakukan bisa menjadi pelita di masa mendatang.
Anak-anak yang masih lugu terkadang diiming-imingi oleh pelaku. Atas sistem patriarki yang mendera, baik korban maupun keluarganya enggan bersuara. Mereka menganggap hal yang menimpa korban adalah aib. Sehingga keluarga korban terkadang memilih untuk menutupinya.
Nahasnya, itu hanya akan memperburuk keadaan. Korban yang tidak berdaya bisa mengalami hal tidak senonoh secara berulang.
Ketika di lapangan, Aisyah mengaku pernah menemui kasus yang memilukan. Keluarga korban enggan melapor karena telah menerima sejumlah uang dari pelaku.
“Ini yang membuat saya marah. Tapi tidak bisa saya lakukan,” tutur ketua umum dan inisiator BEM.
Pendampingan Korban
Selain edukasi, BEM juga melakukan pendampingan. Aisyah menyebut BEM memiliki call center untuk pendampingan agar tidak ada lagi yang menjadi korban.
Call center BEM masih berupa nomor ponsel. Namun, Aisyah berharap nantinya bisa menemukan orang yang dapat menunggu mengadukan persoalan mereka di kantor.
Saat ini, BEM masih memberikan edukasi di wilayah Jakarta. Namun, mereka memiliki keinginan untuk dapat memberikan edukasi tersebut di luar Jakarta kelak.
Aisyah bersama gerakannya itu menyadari banyak daerah yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual. Menurutnya, itu terjadi karena kurangnya informasi.