BARISAN.CO – Kelompok pencinta hewan mendesak pemerintah tegas menyikapi fenomena brutalnya perdagangan daging anjing di Indonesia. Menurut Founder Bali Animal Welfare Association (BAWA), Janice Girardi, salah satu penyebab maraknya praktik jagal anjing ialah hukum yang tidak memberi efek jera para pelanggar animal welfare.
“Undang-undang yang ada sudah usang, sanksi hukumannya lemah, dan sulit ditegakkan. Sehingga tidak memberikan perlindungan yang layak bagi kesejahteraan hewan,” kata Janice kepada Barisanco, Senin (6/12/2021).
Dalam beberapa tahun belakangan, perhatian publik memang sedang terarah pada temuan-temuan praktik jagal anjing yang tak memperhatikan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alaminya.
Anjing diikat, dimasukkan ke dalam karung, dibiarkan haus, dipukul kepalanya, dibantai dengan cara yang sebelumnya tidak terbayangkan, untuk akhirnya diolah sebagai produk kuliner. Pembantaian ini pun diiringi mitos, bahwa cara demikian akan membuat rasa daging anjing jauh lebih enak daripada disembelih.
Yang lebih ironis di atas itu semua adalah fakta bahwa anjing sejatinya bukan hewan konsumsi.
Aturan terkait itu dapat dilacak dalam pasal 1 UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, yang tidak satupun menyebut anjing sebagai salah satu dari sumber hayati produk peternakan, kehutanan, dan jenis lainnya.
Janice Girardi mengatakan, lembaganya sering mendapat laporan tentang kekejaman yang disengaja terhadap hewan, termasuk aktivitas yang terkait perdagangan anjing.
“Kami merespons dengan tindakan investigasi, dialog, dan melapor kepada pihak kepolisian. Kami juga memberikan edukasi, sebab terkadang ada pelaku yang benar-benar tidak menyadari bahwa mereka berbuat salah,” kata Janice Girardi.
Meski perdagangan daging anjing untuk konsumsi “secara teknis” ilegal, data menyebut sekitar 1 juta anjing dibunuh di Indonesia tiap tahun. Dan, tak ada yang bisa menjamin setiap ekor anjing yang nantinya dikonsumsi itu telah bebas dari rabies dan penyakit zoonosis lainnya.
Mengingat perdagangan daging anjing merupakan aktivitas ilegal, angka penjagalan di atas sangat mungkin lebih tinggi lagi. Terlebih bisnis ini melibatkan jejaring yang sangat besar yang jarang tersentuh hukum, mulai dari pencari (pencuri) anjing, tukang jagal, distributor, hingga tangan terakhir yang menjual kepada konsumen.
“Di sinilah BAWA bekerja dengan para pakar untuk meninjau undang-undang yang ada dan menyusun rekomendasi untuk peraturan yang lebih kuat dan lebih dapat ditegakkan,” kata Janice.
Salah satu kampanye yang berhasil dilakukan BAWA di antaranya ialah menyusun Peraturan Desa (Perdes) pertama di Indonesia yang melarang perdagangan daging anjing dan menghentikan kekejaman pada anjing di Sanur Kaja, Denpasar Selatan.
Perdes yang dimaksud Janice adalah Perdes Sanur Kaja No 3/2018 Tentang Tatacara Pemeliharaan Dan Penanganan Anjing di Desa Sanur Kaja. Perdes ini mengatur di antaranya soal larangan mengonsumsi, memperjualbelikan daging anjing, sekaligus kewajiban pemilik anjing.
“Melalui aturan ini kami berharap untuk dapat mencegah potensi pelaku kekejaman terhadap hewan, dan memberdayakan masyarakat untuk berbicara dan melaporkan kejahatan kepada pihak berwenang,” kata Janice.
Janice mengatakan, BAWA kini sedang gencar mempromosikan Perdes Sanur Kaja untuk dapat diterapkan di lebih banyak lagi desa lain di sekitar Bali.
Selain itu, BAWA juga aktif melakukan sosialisasi undang-undang pemerintah yang ada saat ini. Sosialisasi dimaksudkan untuk membuat masyarakat dan otoritas lokal aware bahwa perilaku kejam terhadap hewan tidak dapat diterima.