Scroll untuk baca artikel
Fokus

Sukar Mengikis Kebiasaan Konsumsi Daging Anjing di Surakarta

Redaksi
×

Sukar Mengikis Kebiasaan Konsumsi Daging Anjing di Surakarta

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Sejak Dog Meat Free Indonesia (DMFI) merilis laporan adanya 13.700 anjing yang dibantai setiap bulan untuk dikonsumsi di kawasan Solo Raya, muncul dukungan agar pihak otoritas berkolaborasi bersama masyarakat mengakhiri fenomena kolosal nan ekstrem tersebut.

Beberapa otoritas di Solo Raya sudah bergerak. Polres Sukoharjo, misalnya, minggu lalu berhasil menggagalkan penyelundupan 53 ekor anjing dari Garut, Jabar, yang sedianya akan dikirim ke Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

Pemerintah daerah Sukoharjo sendiri jauh hari telah menerbitkan Perda No 5/2020 tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Perda tersebut berisi larangan PKL menjual daging hewan nonpangan yang meliputi anjing, ular, biawak, dan lain-lain.

Di kawasan Solo Raya yang lain, upaya yang sama dilakukan oleh Bupati Karanganyar, Juliyatmono, yang menutup puluhan warung olahan daging anjing. Sejak 2019, ia mengumpulkan pedagang daging anjing di Karanganyar dan memberi mereka kompensasi Rp5 juta agar beralih profesi.

Praktis, Sukoharjo dan Karanganyar jadi yang terdepan di Solo Raya dalam menindak praktik jagal dan konsumsi anjing.

Sementara itu, Kota Surakarta di bawah kepemimpinan Gibran Rakabuming tampaknya masih lamban merespons isu ini.

Saat DMFI mendesak agar Gibran segera menerbitkan aturan pelarangan, Gibran menjawab datar: “Saran dan masukan sudah masuk semua […] Saya kaji dulu.”

Suguhan Wajib Penghangat Pesta

Di Kota Surakarta, menurut data yang dihimpun tim Barisanco, ada 85 warung yang menjual daging anjing dalam berbagai menu olahan, dari yang disebut rica-rica waung, sate jamu, tongseng asu, grabyasan, sampai nasi goreng.

Untuk waktu yang sangat lama, Kota Surakarta memang telah menjadi alamat tumbuh suburnya tradisi mengonsumsi daging anjing. Jejak panjang tradisi ini bisa dilacak pada era Kasunanan, atau lebih jauh lagi, sejak era Mataram Kuno.

Secara menarik, sejak Abad ke-7 Masehi daging anjing tercatat sebagai mahamangsa atau kuliner santapan para raja. Hal ini seperti ditemukan tertulis dalam kitab Purwadigama maupun Siwasasana, begitupun juga dapat ditelisik melalui prasasti-prasasti peninggalan zaman dahulu.

Mahamangsa sangat istimewa sehingga hanya raja yang boleh menikmati. Kadang di acara tertentu, mahamangsa dijadikan suguhan pesta untuk menjamu tamu-tamu yang dianggap berjasa kepada raja.

Yang termasuk kuliner mahamangsa antara lain adalah: asu buntungan (anjing yang dikebiri); wdus gunting (kambing muda tanpa ekor); karung pulih (babi yang dikebiri); karung pjahanina rajakini (babi liar hasil buruan raja); iwat taluwah (ikan); dan badawang (penyu).

Dari narasi demikian, bisa dibilang daging anjing termasuk kuliner prestise dalam konteks ini.

Anggapan bahwa olahan daging anjing merupakan kuliner prestise agaknya masih bertahan di Surakarta sampai sekarang. Bedanya, prestise makan anjing yang dahulu didominasi kaum raja atau priyayi, sekarang sudah bergeser kepada masyarakat luas utamanya kaum abangan.

Menurut narasumber Barisanco, kita masih bisa dengan mudah menemukan kuliner anjing disuguhkan bersama ciu bekonang [miras khas Surakarta] dalam acara-acara pesta, misalnya di acara ulang tahun komunitas atau acara perayaan partai politik yang mayoritasnya orang abangan.

Dengan latar belakang seperti itulah, ditambah fakta masakan ini masih dijual bebas, cukup sulit memisahkan kuliner daging anjing dari kerongkongan orang Surakarta.

Bisa dikatakan, masyarakat Surakarta berada di halaman yang sama kalau bicara fenomena ini. Tradisi makan daging anjing yang dulu dimulai kaum priyayi ini diteruskan kaum abangan. Menariknya, tradisi ini juga terasa diberi lampu hijau kaum santri.