BARISAN.CO – Orang menyangka Abdi Negara Nurdin bisa jadi komisaris Telkom sejak ia getol mendukung Jokowi. Salah besar. Gitaris Slank ini justru ditabalkan duduk di sana sejak ia lahir. Seturut arti di balik dua kata pertama namanya: ‘Yang mengabdi pada tanah air’.
Abdi Negara Nurdin—akrab disahut Abdee—sebetulnya hanya satu dari keseluruhan mata rantai kecenderungan politik balas jasa. Betul bahwa ia menyumbang tenaga pikiran dan karya dalam dua kali kemenangan Joko Widodo di Pilpres. Tetapi bukan cuma dia yang demikian. Justru laku politik ini sudah ada sejak lama.
Dapatkah hal semacam ini dijelaskan, atau coba dijelaskan? Sudah banyak ahli melakukan itu. Demikianlah mengapa esai ini diuntukkan senang-senang saja. Yang terang, di sini kita perlu melihat bagaimana proses Abdee menjadi komisaris. Dari mana ia memulai: Relawan.
Berbekal bismillah Abdee menjadi relawan. Ia bersama Slank berhasil menyemarakkan konser-konser penggalangan dukungan kepada Joko Widodo.
Relawan tentu punya daya pikat terhadap apapun atau siapapun di mana ia mencurahkan diri. Dari segi bahasa istilah ‘relawan’ pun tergolong khas. Relawan ditakrif sebagai “orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan)”.
Dalam penelusuran etimologis yang dilakukan Kasijanto Sastrodinomo, istilah relawan mulai mencuat dalam ragam percakapan publik sejak setengah abad silam. Mulanya adalah pidato Presiden Soekarno bertajuk “Tahun Kemenangan” (1962) yang dinisbahkan sebagai ajakan Presiden kepada rakyatnya untuk ikut membebaskan Irian Barat selekas mungkin, dengan jalan apa pun.
Kasijanto Sastrodinomo menyebut, di pidato Presiden Sukarno itu dilukiskan bagaimana relawan hingga pada akhirnya diakrabi sebagai istilah oleh orang banyak.
“Berjuta-juta sukarelawan,” ujar Bung Karno, “Laki, perempuan, tua, muda, dari kota, dari desa, dari gunung-gunung, mengalirlah untuk mendaftarkan diri.”
Sejak saat itu istilah relawan mendapat ruang dalam aspek bahasa sehari-hari. Dalam aspek sosiologis, relawan juga dekat dengan paham voluntarisme Barat, yang mengacu pada tindakan individu didasari kehendak otonom tanpa terikat atau ditentukan oleh suatu struktur sosial.
Demikianlah alasan relawan selalu tampil prima dan istimewa. Di dalamnya mengandung kemurnian suara hati. Dalam konteks ini, jika Presiden Jokowi memberi balas jasa kepada relawan-relawannya, tak bisa sepenuhnya disalahkan—Ia sejatinya sedang berterima kasih kepada orang yang terbukti tulus mendukungnya.
Pembenaran Teknokratis dan Legalitas Komisaris
Balas jasa kepada relawan seperti Abdee menjadi tidak sederhana lantaran ia dihadiahi jabatan yang semestinya diisi oleh para teknokrat. Banyak yang mempermasalahkan bahwa Abdee tidak memiliki pembenaran teknokratis sehingga semestinya tidak mendapat legalitas komisaris. Diringkas: Abdee tidak kompeten dan tidak layak.
Tapi Abdee bukan hadir tanpa pembelaan. Triawan Munaf dan Peter F. Gontha membelanya meski suara mereka berdua tenggelam dalam riuh, bahkan cenderungnya tak diacuhkan. Kenapa? Keduanya Komisaris PT Garuda. Orang menafsirkan dukungan mereka sebagai solidaritas sesama komisaris.
Menjadi komisaris Telkom dengan gaji Rp11,31 miliar per tahun tidak mudah. Dengan angka sebesar itu, tentu dapat dimengerti mengapa publik menginginkan komisaris diisi oleh teknokrat.
Teknokrat adalah mereka yang ready now, siap begitu diterjunkan. Ciri-cirinya: punya pengalaman, sesuai antara keahlian dengan bidang keilmuan, sehingga terbukti dan legitimatif.
Sementara Abdee adalah ready next, siap tapi butuh waktu. Ciri-cirinya: belum berpengalaman, basis akademiknya tidak mantap, masih perlu membuktikan diri di soal manajemen perusahaan. Beban pembuktian Abdee bertambah berat lantaran ia melangkahi sekian kepala orang yang, sejak dulu, mengenyam pendidikan supaya pantas menempati kursi yang ia duduki.