Narasi dari pertambangan sebagai instrumen pembangunan dan pengentasan kemiskinan hanya mitos.
BARISAN.CO – Dalam Ulasan Awalil 33: Pertumbuhan Ekonomi Tidak Berkualitas disebutkan, sektor pertambangan dan penggalian di tahun 1980-an mencapai puncaknya, namun pelan-pelan mengalami penurunan. Akan tetapi, kembali melesat selama dua tahun berturut-turut yakni 2021-2022.
“Porsi pertambangan dan penggalian di tahun 2022 menyumbang 12,22 persen untuk PDB (Produk Domestik Bruto) atau di urutan ketiga. Ini akan menyangkut sustainability, yang berarti kita belum berhasil men-switch pertambangan dan penggalian ke sektor industri pengolahan,” kata ekonom, Awalil Rizky.
Menurutnya, jika pembangunan ekonomi terjadi, maka terjadi industrialisasi. Namun, dia berpendapat, Indonesia justru kembali ke struktur lama di mana ekonominya bertumpu kepada pertambangan dan penggalian.
Adam Smith pernah mengatakan, negara-negara dengan sumber daya alam (SDA) melimpah tidak memiliki kinerja ekonomi sebaik yang tidak memilikinya. Jauh dari kata berkah, mineral memiliki dampak buruk, begitu argumennya. Menguatkan argumen Adam Smith, Jeffrey Sachs dan Andrew Werner menemukan, dari 97 negara di antara tahun 1971-1989, pengekspor SDA tumbuh pada tingkat jauh lebih rendah daripada negara lain.
Di Republik Demokratik Kongo, misalnya, pertambangan memiliki bagian lebih dari 20 persen dari PDB. Pertambangan dipraktikkan baik secara industri maupun artisanal, dan dianggap sebagai ekonomi sentral. Namun, sejauh ini pertumbuhan dan pendapatan dari sektor pertambangan belum membuat penurunan nyata dari kemiskinan ekstrem di negara tersebut.
Negara-negara berkembang yang berhasil tumbuh pesat secara berkelanjutan tanpa bergantung pada SDA, biasanya melakukan industrialisasi yang berorientasi pada ekspor.
Manufaktur menjadi eskalator pembangunan ekonomi yang kuat karena tiga alasan. Pertama, relatif mudah menyerap teknologi dari luar negeri dan menghasilkan pekerjaan dengan produktivitas tinggi.
Kedua, pekerjaan manufaktur tidak memerlukan banyak keterampilan, misalnya petani dapat menjadi pekerja produksi dengan sedikit investasi untuk pelatihan tambahan. Serta, yang terakhir, permintaan manufaktur tidak dibatasi oleh pendapatan domestik yang rendah karena produksi dapat berkembang hampir tanpa batas melalui ekspor.
Menariknya, jika menengok Korea Selatan dengan ukuran geografis, sumber daya alam, dan populasi yang relatif terbatas, negara ini jauh lebih maju dibandingkan Indonesia.
Saat pandemi yang melanda seluruh dunia, rantai pasokan terganggu dan meningkatkan tekanan inflasi. Namun, luar biasanya, dengan meluasnya popularitas konten budaya Korea, ini melahirkan kesukesan signifikan yang menyebar melalui film, musik, drama, dan lain-lain.
Selain itu, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Negeri Gingseng terus berinovasi. Pada tahun 2020, berdasarkan laporan Federasi Industri Korea (FKI), pengeluaran penelitian dan pengembangan (R&D) negara ini mencapai 93,1 triliun won (US$75,4 miliar) atau setara 4,81 persen dari PDB-nya.
Bukan hanya pemerintahnya, perusahaan besar di Korea juga meningkatkan inovasinya. Samsung berencana menginvestasikan 20 triliun won (US$15 miliar) untuk fasilitas R&D baru pada tahun 2028.
Sebagai bagian dari Digital New Deal, sebuah program untuk berinvestasi daam teknologi baru dalam perekonomian negara, Kementerian Sains dan Teknologi Informasi dan Komunikasi Korea juga berencana memulai industri metaverse di Korea Selatan dengan mendukung perusahaan serta menciptakan lapangan pekerjaan.
Mengingat keterbatasan yang dimiliki, inovasilah yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di Korea Selatan. Dapat dikatakan, inovasi dapat menghasilkan produktivitas lebih tinggi. Ketika prodiktivitas meningkat, lebih banyak barang dan jasa diproduksi, yang membuat ekonomi tumbuh.