Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Berpenghasilan Tinggi, Namun Belum Kunjung Kaya? Ternyata Ini Penyebabnya!

Redaksi
×

Berpenghasilan Tinggi, Namun Belum Kunjung Kaya? Ternyata Ini Penyebabnya!

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Beberapa orang yang bekerja di manajemen atas dan eksekutif cenderung tidak kunjung kaya, meskipun penghasilan mereka di atas rata-rata. Mereka bekerja keras untuk berada di posisi puncak demi mendapatkan penghasilan yang tinggi, akan tetapi, saat gajian tiba, uang tersebut langsung dihabiskan untuk membeli barang-barang yang digolongkan sebagai pemborosan oleh orang lain.

Pada tahun 2013, muncul istilah High Earner, Not Rich Yet (HENRY) di sebuah artikel Fortune yang ditulis oleh Shawn Tully. Kemudian dipopulerkan kembali di tahun 2019 oleh Melkorka Licea pada artikel New York Post.

Istilah HENRY ditandai dengan penghasilan lebih dari US$100.000 hingga US$250.000 di Amerika, namun orang-orang itu tidak menganggap diri mereka kaya. Mereka cenderung menghabiskan gajinya setelah masuk ke rekening.

HENRY juga lebih sering memiliki utang saking borosnya dan cenderung menumpuk banyak utang melalui kartu kredit. Belum lagi pinjaman pelajar, cicilan hipotek, mobil, dan lainnya sehingga tidak banyak uang yang tersisa menuju tanggal gajian berikutnya.

Bagi penjaja dagangan khususnya merek mewah, HENRY bisa menjadi tambang emas. Itu yang menyebabkan banyak iklan sering diarahkan kepada HENRY karena konsumen kelas bawah hingga menengah dianggap tidak mampu membeli produk mereka.

Penyanyi sukses Rihanna pun pernah menggugat akuntan sekaligus penasihat keuangannya, Peter Gounis karena memberi ijin membuang US$9 juta untuk berbelanja yang menyebabkan dirinya nyaris bangkrut. Namun, Peter menyindir Rihanna di depan media dengan mengatakan apakah perlu memberitahunya jika menghabiskan banyak uang untuk berbelanja akan berakhir dengan banyak barang dan tidak memiliki uang?

Pendapatan sebenarnya perlu disisihkan untuk menabung. Sayangnya, sebagian orang menganggap gaji yang diperoleh tidak cukup hingga mereka terjebak oleh utang, meski pendapatannya telah tergolong tinggi.

Akan tetapi, banyak orang yang beralasan. Padahal banyak kisah betapa pendapatan tidak berpengaruh dengan tabungan yang dihasilkan. Seperti kisah tukang sayur, Rudiantoro Wari Tondiran yang pada tahun 2017 lalu setelah bertahun-tahun menyisihkan pendapatannya mulai Rp 10.000 selama 3 tahun demi bisa naik haji. Atau kisah tukang becak asal Banjarnegara yang menabung seribu rupiah per hari dan 28 tahun setelahnya dapat menunaikan ibadah haji.

Orang dengan sindrom HENRY cenderung membelanjakan uangnya dan menunda menabung. Mereka lebih memilih untuk menikmati hidupnya semaksimal mungkin dengan gaji yang dimiliki hingga sering tak memiliki uang yang tersisa hingga gajian berikutnya. Maka, tak jarang mereka harus berutang untuk memenuhi kebutuhannya dari waktu yang tersisa sebelum gaji masuk ke rekeningnya.

Padahal, terdapat pedoman penggunaan pendapatan untuk menciptakan ruang menabung yaitu 50/20/30. Kewajiban seperti membayar cicilan rumah dan mobil, listrik, air, dan lain-lain sebesar 50 persen dari pendapat. Kemudian, 20 persennya digunakan untuk menabung. Sisanya, 30 persen dari gaji dapat dialokasikan untuk membeli pakaian, liburan, atau makan di luar.

Sebab itu, jika memang gaji masih pas-pasan, upayakan untuk menabung dengan menekan gengsi demi bergaya perlu dilakukan. Hal itu dikarenakan, kebanyakan orang lebih memilih berbelanja barang yang tidak perlu sehingga cenderung menimbun dibanding menabung dan berjaga-jaga saat terjadi kondisi darurat untuk masa depan. [rif