SEKITAR setengah tahun yang lalu, saat salah satu Om saya meninggal dunia, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Namanya, Gembagus. Dia teman sekolah semasa SMP dan SMA. Setelah mengiringi jenazah Om sampai di pemakaman, menunggui upacara penguburan hingga selesai, saya dan Gembagus berjalan beriringan pulang. Saat itu pukul 2 siang dan perut sudah keroncongan.
Lalu saya ajak Gembagus untuk mengisi perut di sebuah warung pecel yang terkenal di kota ini. Sambil menyantap pecel, kami asyik ngobrol tentang masa-masa sekolah dulu. Dari soal teman cewek yang paling cantik, guru yang paling killer, dan nasib kawan-kawan yang lain hingga saat ini.
Setelah makan, Gembagus lalu mengajak saya untuk mampir di rumah kontrakannya di sebuah kampung. Dia tinggal bersama istri dan seorang anaknya yang sudah bekerja. Saat itu istri dan anaknya sedang keluar.
Setelah duduk beralas karpet dan tikar, kami kembali ngobrol ngalor-ngidul. Obrolan sampai ke soal pengajian. Lalu dia bercerita kalau mengikuti sebuah pengajian yang berpusat di sebuah provinsi di sebelah timur Pulau Jawa. Saat itu, saya tidak memperhatikan nama kota tempat pengajian itu berada. Dia menyebut pemimpin pengajian itu bukan dengan sebutan kiai, melainkan kanjeng.
Namanya, Kanjeng Papi. Si Kanjeng Papi ini, menurut Gembagus, punya kemampuan untuk menggandakan uang. Uang bisa digandakan di dalam sebuah kantong atau tas.
Tapi Gembagus lebih suka menyebutnya sebagai sebuah kantong. Dia dengan bercanda menyebut kantong itu sebagai kantong Doramon, yang mampu menyimpan dan mengeluarkan segala macam benda. Gembagus diberi tiga kantong oleh Kanjeng Papi. Dia lalu membuka salah satu kantong itu dan menunjukkan isinya kepada saya. Dan memang kantong itu penuh berisi uang.
Tapi apa betul itu uang asli atau tidak, saya tidak bisa memastikan. Secara insting, tangan saya pengen memegang uang itu, namun Gembagus dengan halus dan gerakan perlahan menutup risliting kantong itu. Dan seolah-olah ingin menjauhkan dari jangkauan tangan saya.
Saya agak terpana melihat uang itu, tapi secara tidak sadar bibir saya malah tersenyum. Melihat saya seolah tidak percaya dengan adanya keberadaan uang itu, dia lalu menjelaskan lebih jauh tentang kiprah Kanjeng Papi. Kanjeng Papi ini punya yayasan atau perusahaan yang sudah berbadan hukum. Gembagus menunjukkan pada saya akta pendirian yayasan atau perusahaan itu, meskipun dalam bentuk fotokopi.
Dalam akta pendirian itu juga tercantum nama Nyonya Semprul, seorang cendekiawan perempuan dari sebuah organisasi ikatan cendekiawan yang sudah tersohor di negeri ini, sebagai salah satu dewan penasihatnya.