Ketokohan dan Kekuasaan yang Mengakar
Amat disayangkan, klaim sebagai lembaga yang demokratis bahkan berkoar-koar memperjuangkan demokrasi, tapi justru di dalam internalnya luput dari nilai-nilai demokrasi.
Malahan, bagi sebagian besar parpol di Indonesia menjadikan ketokohan ketua parpol menjadi komoditi unggulannya. Fenomena ini telah dibaca oleh Marcus Mietzner yang dijelaskan dalam bukunya “Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia“, bahwa figur sentral dalam parpol itu variatif dan seringnya berdasar pada kekuasaan non-formal.
Kekuasaan non-formal itu dapat diperoleh dari beberapa hal, misalnya garis keturunan, karisma, popularitas elektoral, kekayaan, atau akses ke sumber daya pemerintah.
Di sisi lain, makin lama berkuasa maka akan terbuka kesempatan untuk terus menghimpun sumber daya. Itu sebabnya, kekuasaan tersebut akan makin mengakar dan bertambah kuat.
Itu sebabnya, kontestasi dalam internal parpol menjadi tidak berimbang. Alih-alih membuka kesempatan untuk setiap kader parpol saling beradu kualitas, yang terjadi malah memperkokoh bangunan dinasti politik. Bahkan, bukan hal tabu bila setelahnya jabatan ketua parpol akan diwariskan ke putranya.
Penyalahgunaan Wewenang
Membiarkan langgengnya jabatan ketua parpol dalam kurun waktu yang lama, tentunya turut mengundang curiga. Sebab, mempertahankan kekuasaan juga membutuhkan sumber daya yang besar.
Maka itu, sering kali menghalalkan berbagai cara untuk mempertahankannya. Bahkan, tidak mungkin tidak, ketua parpol akan memasang seluruh orangnya di setiap jajaran untuk menjaganya.
Karenanya, pola demikian biasanya lekat dengan praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Pastinya juga sulit mengharap diterapkannya meritokrasi dalam sistem yang demikian.
Mengingat kembali kata Lord Acton, korupsi dan kekuasaan bak dua sisi keping mata uang. Korupsi dalam arti penyalahgunaan wewenang, takkan terjadi tanpa adanya kekuasaan.
Di sinilah mengapa kekuasaan ketua parpol di Indonesia yang nyaris tanpa batas ini perlu untuk terus disimak dan diperhatikan. Kalau ia dibatasi, kita jelas boleh berharap bahwa dengan demikian kualitas demokrasi akan lebih baik. [dmr]