KETIKA Presiden Jokowi menyinggung tentang perubahan iklim dalam acara yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) baru-baru ini, saya sangat senang. Berharap perubahan iklim menjadi isu utama dalam wacana resmi para elite nasional.
Perubahan iklim adalah isu global yang minim pemberitaan di media arus utama nasional. Sementara media internasional justru sangat gencar memberitakannya dan mereka memiliki rubrik sendiri bahkan memiliki jurnalis spesial.
Pun, nyaris tak ada elite di negeri ini termasuk partai politik yang banyak bicara tentang perubahan iklim yang dampaknya sudah dirasakan secara global seperti banjir bandang, kekeringan ekstrem, danau dan sungai utama di Eropa debit airnya menyusut serta kelangkaan pangan di dunia.
Tapi perasaan senang saya hanya sesaat, setelah itu saya kembali teringat kepada pembangunan masif jalan tol dan infrastruktur di era Pak Jokowi. Termasuk pembangunan mencusuar Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Saya membayangkan pembangunan jalan tol, kereta cepat, dan IKN yang masif selain merusak habitat, ekosistem dan rantai makanan untuk hewan pada akhirnya akan merugikan manusia. Dampaknya adalah matinya sumber mata air, berkurangnya lahan subur dan tak terkendalinya hama tanaman.
Sebelumnya saya juga sangat senang ketika Presiden Jokowi saat diwawancarai The Ecomomist dalam perhelatan KTT G20 di Bali yang ditayangkan kanal The Economist. Saat itu Jokowi di akhir perbincangan menjawab pertanyaan seputar rencana kegiatannya selepas menjabat presiden pada 2024.
“Saya akan pulang ke Solo untuk bermain dengan cucu atau menekuni bisnis lama.”
Tapi jawaban Jokowi tak sampai di situ. Dia meyakinkan pewawancara selepas jadi Presiden akan pulang ke kota kelahirannya menjadi orang biasa dan akan bergiat dalam bidang lingkungan.
Pernyataan Jokowi itu sudah lama saya hapus dari harapan saya karena justru pembangunan infrastrukturnya tidak berhenti.
Dalam tulisan bertajuk “Siapa Diuntungkan IKN?” jurnalis senior Farid Gaban
menyebutkan luas IKN direncanakan sekira 180.000 hektare. Luas sebesar itu terbagi dalam 3 ring yaitu kawasan inti 5.600 hektare, kawasan ibukota negara 42.000 hektare dan kawasan perluasan ibukota negara 130.000 hektare.
“Itu semua bukan lahan kosong, melainkan lahan konsesi usaha kehutanan dan tambang, serta beberapa permukiman masyarakat adat,” tulis mantan jurnalis Tempo tersebut.
Saya tidak bisa membayangkan tanah yang menjadi tempat kampung adat dan juga milik pengusaha konglomerat Sukanto Tanoto, Luhut Binsar Pandjaitan dan Hashim Djojohadikusumo yang dikenal sebagai adik kandung Prabowo Subianto, berubah menjadi kampung beton.
Hutan yang memproduksi oksigen sirna. Tanah tak bisa lagi menyerap air. Air hujan tanpa sempat dimanfaatkan terbuang ke sungai dan lebih lebih cepat ke laut.
Melihat kenyataan seperti itu, masih pantaskah kita bicara tentang perubahan iklim? [rif]