Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Bisakah Media Berhenti Mengutip Analisis ‘Ngawur’ Pakar Mikroekspresi?

Redaksi
×

Bisakah Media Berhenti Mengutip Analisis ‘Ngawur’ Pakar Mikroekspresi?

Sebarkan artikel ini

Jurnal sains kenamaan, Nature, pernah menguliti mikroekpresi habis-habisan. Kasarannya, ilmu mikroekspresi yang dipopulerkan Paul Ekman sejak tahun 70-an ini disebut semata ilmu spekulatif. Tak peduli Anda seorang pakar atau bukan, kemungkinan benarnya sebuah tafsir mikroekspresi akan sama besarnya dengan kemungkinan salahnya.

Nature juga mengkritik kegagalan metode mikroekspresi yang pernah secara resmi diterapkan di seluruh bandara Amerika Serikat pada tahun 2006 hingga 2009. Saat itu, menggunakan kerangka ilmu mikroekspresi, petugas bandara AS dilatih untuk curiga terhadap penumpang yang ditengarai sebagai teroris.

Dalam kurun 3 tahun selama metode analisis itu diterapkan, petugas bandara telah menggiring 232.000 orang untuk diperiksa, digeledah, dan kemudian dilakukan uji bahan peledak. Dari jumlah itu, petugas menangkap 1.710 orang.

Namun masalahnya, hampir tak satupun dari mereka yang ditangkap terkait dengan terorisme, alih-alih merupakan kriminal biasa ataupun orang-orang yang sebelumnya memang sudah masuk daftar DPO.

Akibat akurasinya nyaris nol, analisis mikroekspresi lantas diganti dengan Future Attribute Screening Technology (FAST). FAST ini semacam alat sensor pernapasan dan denyut jantung yang cara kerjanya mirip lie detector—alat ini dinilai lebih efektif sehingga mendapat pendanaan pemerintah sebesar US$10 juta per tahun sampai sekarang.

Melepas Candu Tafsir Mikroekspresi

Meskipun ilmu mikroekspresi sudah banyak diragukan secara keilmuan, agaknya sulit melepas ‘kecanduan’ media kita terhadap tafsir mikroekspresi.

Lebih-lebih, pakar di bidang ini punya kemampuan menyediakan jawaban secara cepat dan pasti (dua hal yang paling dicari media), yang tidak bisa didapatkan dari semisal pakar ekonomi atau pakar hukum tata negara.

Soal apakah benar Jokowi ingin 3 periode? Pakar ekonomi terlalu lama menjawab karena memperhitungkan banyak hal. Pakar hukum tata negara bertele-tele sebab sibuk menjelaskan undang-undang terlebih dahulu. Pakar mikroekpresi hanya butuh potongan video 10 detik untuk langsung menyimpulkan bahwa, benar, Jokowi ingin 3 periode.

Belum terang apa yang akan terjadi jika pakar mikroekspresi terus-terusan diberi panggung. Belum jelas pula apakah publik memang membutuhkan informasi dari mereka. Yang jelas, media dan televisi telah ikut menyumbang ambiguitas di tengah banjir informasi ngawur di internet.

Di luar itu, sependek pengamatan, masih ada beberapa media—kecil maupun besar—yang cukup konsisten dengan tidak pernah meminta pendapat pakar mikroekspresi dalam pemberitaannya. Diperhatikan sekilas, media-media ini punya satu kemiripan yakni newsroom yang kuat.