Bright Institute memproyeksikan keseimbangan baru nilai tukar rupiah di Rp16.500 per dolar AS hingga dua bulan mendatang, dipengaruhi oleh kondisi fundamental ekonomi domestik seperti neraca pembayaran dan posisi investasi internasional Indonesia.
BARISAN.CO – Lembaga riset ekonomi Bright Institute memperkirakan keseimbangan baru nilai tukar rupiah di Rp16.500 per dolar AS hingga dua bulan ke depan. Keseimbangan baru ini didorong dari perkembangan indikator-indikator fundamental domestik seperti transaksi finansial dan posisi investasi internasional pada neraca pembayaran Indonesia.
“Kalau bicara keseimbangan nilai tukar, tidak bisa diukur melalui faktor kausalitas yang terjadi secara insidental. Untuk menjelaskan pergerakan nilai tukar secara harian itu bisa, namun dalam hal proyeksi jangka tahunan, harus dilihat dari fundamental nilai tukar yang telah berkembang hingga saat ini, baik itu dari neraca pembayaran, kondisi paritas, dan juga pasar aset,” ujar Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky dalam webinar yang dilaksanakan pada Selasa (21/05/2025) sore.
Pada triwulan III 2024, neraca pembayaran Indonesia terhitung surplus US$5,87 miliar. Namun secara kumulatif, selama tahun 2024 terjadi defisit hingga US$600 juta.
Defisit ini menjadi yang pertama sejak tahun 2018 setelah sebelumnya selalu surplus. Perkembangan ini menjadi salah satu faktor rupiah sulit untuk kembali ke nilai keseimbangan yang lama.
“Neraca transaksi berjalan selama 2024 hingga triwulan III defisit mencapai US$ 7,88 miliar. Defisit ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, bergerak mengikuti era sebelum 2021 yang selalu defisit sangat lebar yang dimulai di 2012, tahun di mana rupiah berhenti dari level 8 ribuan menjadi 12 ribuan di tahun-tahun setelahnya,” tambah Awalil.
Selain itu dilihat dari data perkembangan neraca transaksi finansial, arus neto modal masuk untuk 2024 tercatat masih surplus namun surplus ini cenderung semakin mengecil.
Indonesia mulai mengalami penurunan surplus transaksi finansial di 2014 dan jatuh ke defisit di 2022. Di tahun 2023, transaksi berjalan kembali surplus namun levelnya di $9,51 miliar masih jauh dari era sebelum pandemi di kisaran US$16 miliar hingga US$44 miliar.
“Lalu dalam posisi investasi internasional Indonesia, posisi ‘investasi lainnya’ justru menjadi faktor yang lebih sekarang lebih berpengaruh terhadap nilai tukar daripada posisi ‘investasi langsung’ dan ‘investasi portofolio’. Dan ‘investasi lainnya’ inilah yang posisinya paling rentan. Investasi lainnya modal asing cenderung stagnan namun modal penduduk tumbuh pesat. Hal ini menunjukkan dibalik upaya Indonesia untuk menarik banyak investasi dari luar, penduduk Indonesia justru semakin banyak menaruh modal di luar dalam bentuk ‘investasi lainnya’,” jelas Awalil.
Awalil melihat faktor fundamental ketahanan eksternal perekonomian Indonesia tidak terlampau lemah, namun juga tidak bisa dikatakan kuat.
Potensi pelemahan lanjutan memang belum tampak, namun tetap ada risiko hingga ke Rp17.000/USD. Potensi penguatan pun masih terbuka hingga bisa ke kisaran Rp16.000.
“Namun meski tidak terlampau besar, potensi guncangan eksternal yang besar masih bisa terjadi; dan ketahanan untuk menghadapi itu terbilang lemah. Dan yang tidak bisa kita lupakan, semakin terikatnya kebijakan moneter oleh BI dengan kepentingan fiskal pemerintah dan kondisi industri keuangan membuat beberapa risiko mesti diwaspadai dan dimitigasi,” tutup Awalil. []