BUKAN DONGENG SI CANTIK DAN SI BURUH RUPA
|1|
di tepian kali yang airnya segelap pupil mata para kandidat raja negeri ini saat menuang janji, aroma kekumuhan ibukota kuisap dalam-dalam bersama lintingan tembakau. nenek berbaju lusuh yang sedang mengorek hasil memulung seharian itu menatap kalung emas dan bibir berlipstikmu dengan tatapan seorang proletar kepada borjuis di zaman Louis IV. sebaiknya kautinggalkan tempat yang tak mengenali keanggunanmu ini. biarkan aku sendiri bersemadi merawat lelah sebelum matahari esok mendentangkan lonceng untuk kembali membanting tulang sepanjang hari.
semakin kutolak, semakin gigih pula kaujelaskan bahwa cinta adalah makhluk tanpa penglihatan, dan betapa pintu modernisasi telah membuka hak seorang wanita sepertimu untuk memilih sendiri suaminya. entah dengan cara apa membujuk matamu, untuk memandang lebih tajam ke masa yang masih jauh. bahkan tanpa teleskop pun seharusnya akan mudah kautemukan bahwa di ujung sana, bentuk nasibku tak berkarib dengan estetika.
tubuhmu yang harum oleh Baccarat Les Larmes Sacree de Thebes, sudah mulai tercemar oleh wangi keringatku yang diramu dari partikel debu mesin pabrik, asap knalpot motor cicilan, dan bau mulut yang melantangkan tuntutan kesejahteraan saat berdemo. ah, ditambah juga aroma kesengsaraan.
jembatan usang yang dimurali oleh stiker dan poster partai yang (katanya) mendukung kaum buruh itu, masih kokoh jadi anjungan tempat orang-orang meludah dan pipis di kali. menurut undang-undang yang kusahkan sendiri sejak hari pertama bekerja, jembatan itu bernama UMR. dan yang mengalir tersendat di bawahnya adalah gajiku.
setiap kali kautegaskan tak peduli meski kita berdua punya kesenjangan angka penghasilan profesi sejauh saturnus dan bumi, seketika itu pula sesosok monster bernama Kenyataan menghunus belati dan menghunjami harga diri ini … berkali-kali, hingga jadi cacahan renik yang kutaburkan sebagai konfeti pada pesta tahunan setiap tanggal 1 Mei.
|2|
kecemasan berdering seperti jeritan alarm korslet. mengingatkan segera tiba waktunya hukuman rutin dari aparat untuk ditimpakan kepada makhluk sepertiku. kau bergegas memasuki kobaran kepalaku, menyederhanakan pemadaman di sana serupa menuang isi secangkir kopi ke atas granat usai tuas detonatornya tercabut.
hanya karena aku seorang lelaki, lantas kaubilang aku tak mungkin di-Marsinah-kan. cuma tersebab tak mampu membeli tiket pesawat, kaujamin aku takkan diracun di udara. dan gara-gara penaku tak cukup tajam untuk menorehkan puisi-puisi rebellion, sangkamu aku bebas dari resiko disirnakan.