Penguasa Jakarta saya kira bisa mencontoh Prancis. Buku klasik hingga mutakhir bisa menjadi rujukan para petualang atau turis ketika mengunjungi Paris. Ketika buku itu dibaca di negaranya dan kemudian singgah ke Perancis tertarik untuk menjelajahi setiap detail yang ada di buku.
Seperti ditulis penulis Paris yang keturunan Maroko, Leila Slimani, dalam tulisannya di The New York Times misalnya untuk melihat sisi gelap Paris dan kegilaan Paris bisa baca buku karya Victor Hugo “ Les Misérables ” atau “ The Hunchback of Notre-Dame .”
Kedua buku ini dianggap karya jenius yang merekam jiwa Paris dan rakyatnya. Termasuk soal kemiskinan dan tunawisma dan pesta gila. Juga buku-buku karya Emile Zola yang sangat kontroversial pada zamannya seperti “Nana” dan “L’Assommoir”.
Paris juga memiliki ikon toko buku sekaligus perpustakaan yang legendaris. Toko buku tersebut tidak besar tetapi memiliki sejarah. Toko buku ini tempat persinggahan tokoh sastra ternama seperti Ernest Hemingway, James Joyce, Allen Ginsberg, Lawrence Ferlinghetti, Gregory Corso, Jean Paul Sartre, dan Simone de Beauvoir. Karenar reputasinya toko tersebut menjadi destinasi wisata.
Ya, toko buku tersebut bernama Shakespeare and Company. Di Paris juga ada taman yang sangat nyaman untuk rehat sekaligus membaca buku namanya taman Palais Royal. Kabarnya nongkrong di sana sangat pas ketika bunga magnolia bermekaran dan di musim dingin coba duduk di pelataran kafe sambil minum segelas anggur (kalau di Jakarta bir pletok juga boleh) saat hujan di luar. Ehm.
Bisa dibayangkan di Jakarta ada landmark seperti ini. Sangat mungkin, yang penting ada kemauan dari pemerintah dan keterlibatan komunitas di Jakarta.