BARISAN.CO – BUNG KALNO nama penjaja warung es ‘India’ di alun-alun itu persis nama presiden, Soekalno. Itu sebabnya dia kondang dengan sebutan Bung Kalno. Meski dia sama sekali tidak ada kesamaan dengan Bung Karno.
Dia serba India, meski bahasa Indianya hanya sebatas: tum yahe maharaj, atau India dipatilele. Dia penggemar film India, meski bintang film India yang dia hafal sebatas paraban: rai kapur (maksudnya muka berbedak). Rambutnya dimaksudkan model India, tapi keliru gaya jambul Elvis Presley. Lalu pesolek ia, bercelak mata, beralis ditebalkan, dan pakai tahi lalat palsu segala di dekat sudut bibir sebelah kanan.
Saking tergila film India, warungnya pun berpenutup bekas poster film India. Es gosroknya terkenal enak, dikenal dengan nama es India atau es Bung Kalno terutama bagi anak kecil masih celad menyebut Bung Karno. Bagi dirinya yang juga celad, tetaplah Bung Kalno.
Kalau ada yang menggod soal penggunaan huruf l atau r, ia akan menunjukkan KTP-nya. Namanya memang bukan Soekarno, tapi Soekalno. Toh tak ubahnya bintang film, dia banyak penggemar, terutama para wanita. Karena bagi mereka, dia tipe ideal wanita, sebab mirip: rai kapur. Para gadis atau emak-emak yang jajan suka memanggilnya rai kapur, dan sungkan kalau menyebut Bung Kalno — takut kualat Pak Bung Karno, aku mereka.
Di siang hari, yang membantu Bung Kalno asah-asah cuci gelas, bersaing antara Tarmi dan Manis — di malam hari mereka biasa menjajakan diri di warung Yu. Mereka berdua bersaing merebut hati Bung Kalno, dan rela meski kerja mereka dibayar hanya dengan segelas es India.
Tapi setiap mereka menggoda, Bung Kalno hanya senyum-senyum saja. Anehnya, setiap Sanut lewat, ia jadi tampak kewanitaan. Seperti tadi, saat Sanut melintas ke beringin, Bung Karno melambai panggil, tapi Sanut acuh saja. Itu sebabnya ada semacam persaingan, antara Bung Kalno dan Yu, meski jualan mereka berbeda.
“Raimu kira-kira oh, Nia,” hujat Tarmi, karena Manis mencuci gelas sambil seperti sengaja menyipratkan air ke Tarmi. “Kira-kira kepriben, wong enyong lagi asah-asah ka..!” tohok Tarmi tak acuh. “Kamu saya bilangi Yu, kalau kamu suka Sanut,” ancam Manis, seraya bergegas ke arah warung Yu.
Selalu melihat pertengkaran mereka, Bung Kalno senyum-senyum saja. Seperti sudah mafhum, mereka berdua memang bersaing dalam segala warung, di warungnya atau di warung Yu. Di belakang warung Yu, Manis berpapasan dengan Koko yang berjalan dari arah bioskop selatan.
Di warung Yu, Manis menggebrak meja, tapi Yu sepeti hapal laguan Manis. “Mesti sama Tarwi,” paham Yu, “wong ka sadina-dina geger bae.” Manis menempelak, “enyong lagi njanggleng ka diciprati banyu, Yu..!” Sanggah Yu, “Dudu soal banyune, sapira sih klebese cipratan, durung kudanan..!” Manis melongok ke bilik Yu, koson, dia mau melapor tapi Yu tanggap.
“Wis, aja nggawa-nggawa Sanut, wong ka saben ndina geger lanangan bae..!” Manis terdiam, menyulut rokok, mengisap dan mengembuskan asap rokok keras-keras.
“Orang itu mesti mikir, hidup itu bukan sekadar soal rasa,” ujar Yu, “tapi mesti menjalani hidup ini apa adanya, caranya ya mulai mikir awake dewek kepriben, tindak kerjanya bagaimana.”
KOKO melongok ke penutup poster India,