Scroll untuk baca artikel
Pojok Bahasa & Filsafat

Bahasa dan Perilaku

Redaksi
×

Bahasa dan Perilaku

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kita mengenal watak bahasa. Bahasa setiap negara berbeda sifat. Begitu pun di Indonesia, banyak ragam bahasa daerah yang memiliki sifat berlainan. Bahasa Jawa Barat (Sunda) berbeda dengan Jawa Tengah (bahasa Jawa).

Bahkan di Jawa Tengah, memiliki perbedaan karakter bahasa. Misalnya bahasa Yogya-Solo (Jowo) dengan bahasa Tegal (ngapak, panginyongan). Lebih istimewa lagi, setiap bahasa berpengaruh bagi perilaku masyarakat daerah setempat. Atau sebaliknya perilaku masyarakat/manusianya berpengaruh bagi sifat atau ‘pengayaan’ bahasa setempat.

Kita mengenal Chairil Anwar dengan puisi-puisi ‘binatang jalang’-nya. Bagaimana perilaku ‘jalang’ CA terbawa dalam sajak-sajaknya. Puisi-puisinya yang ‘liar’ dengan bahasa jalanan, mendobrak keterkungkungan sastra Melayu pada jamannya. Sastra Melayu yang serba teratur dan terbatas, dibenturkan CA dengan bahasa keseharian.

Larik “aku ini binatang jalang” saja sudah mengejutkan bagi sastrawan Melayu yang berindah-indah ‘moi indie’. Belum lagi puisi CA lain yang menggunakan bahasa prokem Batak: mampus kau dikoyak-koyak sepi!

Seiring waktu justru bahasa sehari-hari atau kata-kata prokem dalam sajak-sajak CA sangat memperkaya bahasa. Bahkan boleh dikatakan CA lah yang — dengan bahasanya — memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa (nasional) Indonesia.

Juga menarik kalau kita menelisik soal pengaruh bahasa khususnya dalam bahasa daerah. Misalnya bahas daerah Jawa Tegal, yang dikenal sebagai bahasa ngapak atau panginyongan. Betapa bahasa ‘warteg’ itu mengalami silang pengaruh.

Kita mengenal bahasa Tegal, yang memiliki karakter tersendiri. Bagi orang Yogya-Solo mungkin terdengar kasar dan Ngoko serta blakasuta (apa adanya). Ini mencerminkan watak masyarakatnya sesuai simbol Tegal pada jamannya, yaitu: Banteng Loreng Binoncengan.

Seekor banteng loreng jantan buas, tapi jadi lembut karena di punggungnya ada anak gembala meniup seruling.
Itulah gambaran watak masyarakat Tegal, meski dinilai kasar dan keras tapi bisa lembut oleh keindahan buluh perindu. Sifat dasar ini silang pengaruh dengan bahasanya, dan melebar dalam ranah sosial maupun skala budaya. Dari menu kulinernya yang khas warteg, bercitarasa khas asin pedes sedap, hingga konteks sosial-politik-historisnya.

Kemungkinan besar atas sifat dasar itulah, di jaman penyerangan Mataram Sultan Agung ke Batavia, Tegal dijadikan benteng sekaligus dapur besar. Seperti yang disebutkan dalam buku sejarah Mataram Islam HJ de Graff, senapati/panglima perang tentara Mataram ialah Martoloyo, yang dikemudian hari menjadi Akuwu (sebelum bupati) Tegal (d/h: Tetegal).

Disebutkan dalam buku itu, Martoloyo adalah asli Surabaya, yang dikenal sebagai perompak di laut Utara Jawa (daerah Pantura, sekarang). Tapi dia adalah pahlawan, sebab yang dirompak adalah kapal-kapal Belanda.

Jadi demikianlah, saling pengaruh bahasa dan masyarakatnya begitu liat dan kental, dari perilaku sehari-hari, sosial-budaya hingga politic-historisnya. Jangan heran kalau anda melihat persahabatan sesama orang Tegal, dalam ngobrol seperti orang bertengkar. Apalagi kalau anda mengira mau berkelahi, lantas anda berusaha melerai.

Semakin akrab sesama orang Tegal justru semakin keras dan kasar tegur sapanya. Tapi dekatilah mereka dengan kelembutan bak buluh perindu, maka mereka akan sopan lembut lebih halus dari orang berbahasa adhiluhung. Meskipun mereka akan berkilah: kalau njenengan adhiluhung, saya sih adhilinglung.***