BARISAN.CO – Gedung Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) di Jalan Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur mendadak ramai pada pertengahan bulan lalu, (16/10/2021). Sejumlah warga Nahdliyin berkumpul. Mereka menyatakan dukungan kepada KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya untuk Maju dalam bursa untuk menempati posisi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2021-2026 pada Muktamar Ke-34 yang berlangsung di Lampung pada 22-25 Desember mendatang.
Sementara itu disisi lain, ada permintaan KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU yang bakal maju untuk periode ketiganya, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) netral dalam Muktamar NU.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mencoba menganalisa dan menganggap pernyataan Said Aqil tersebut unik.
“Ini jadi bukti persaingan Ketum PBNU makin panas. Jarang-jarang ada permintaan secara eksplisit agar Presiden tak ikut campur urusan pemilihan ketua yang baru. Padahal terlalu jauh mengaitkan Jokowi dengan urusan pemilihan Ketum PBNU yang baru. Dan Jokowi tak mungkin ikut campur,” kata Adi kepada wartawan, Jumat (12/11/2021).
Terlepas dari itu, ada sejumlah etika dan aturan yang perlu dicermati oleh calon kandidat Ketum PBNU berdasarkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan demokrasi liberal.
Dikutip dari situs NU, dalam nilai Islam memang tidak baik untuk mengajukan diri sebagai pemimpin, karena pengurus wilayah dan cabang NU sebagai pemilik hak suara yang dapat mengajukan calon di forum muktamar. Dukungan minimal dalam jumlah tertentu dapat mendukung calon untuk dianggap layak.
Untuk itu, deklarasi pencalonan di forum ini dianggap tidak sesuai etika dalam tata nilai NU. Terlebih lagi, persetujuan dari Rais Aam yang merupakan pemimpin tertinggi NU menjadi hal utama yang paling krusial. Jika Rais Aam terpilih tidak setuju maka pencalonan akan batal, meski telah mendapat dukungan yang begitu besar.
Sebagai informasi, dalam tradisi NU, Muktamar adalah forum tertinggi dalam pengambilan keputusan. Selain suksesi pimpinan, forum ini juga menetapkan fatwa-fatwa atas persoalan tertentu mencakup masalah keagamaan, persoalan mutakhir dalam kehidupan yang berbangsa dan bernegara, serta rekomendasi. [rif]