Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Penyertaan Modal Negara Sebagai Konsekwensi Penugasan BUMN

Redaksi
×

Penyertaan Modal Negara Sebagai Konsekwensi Penugasan BUMN

Sebarkan artikel ini

Oleh: Awalil Rizky, ekonom

Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dianggap sebagai pelaksanaan amanat Konsitusi. Terutama dari pasal 33 ayat 2 UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Dikuasai diartikan tidak hanya sebagai regulator, melainkan juga sebagai aktor.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang masih berlaku menyebut berulang kali tentang BUMN. Salah satu yang perlu dicatat adalah menyetarakan antara usaha besar dan BUMN.

Dikatakan bahwa Usaha besar dan BUMN mempunyai hak untuk berusaha dan mengelola sumber daya alam dengan cara yang sehat dan bermitra dengan pengusaha kecil, menengah dan koperasi.

Undang-Undang No.19/2003 tentang BUMN menyebut, “BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

Undang-Undang tersebut juga menyebut maksud dan tujuan pendirian BUMN. Antara lain adalah: a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya; b. mengejar keuntungan; c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Sebagai badan usaha tentu saja BUMN memerlukan modal bagi pengelolaannya. Seluruh atau sebagian modalnya bersumber dari penyertaan secara langsung oleh pemerintah atau negara. Penyertaan modal itu diperlakukan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.

Penyertaan modal dimaksud dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pos yang saat ini disebut penyertaan modal negara (PMN). Dahulu sempat disebut penyertaan modal pemerintah (PMP).

PMN bersifat pengeluaran pada APBN, namun tidak termasuk pos Belanja Negara. Melainkan dalam pos Pembiayaan anggaran, yang mencatat penerimaan dan pengeluaran yang berakibat hak atau kewajiban di kemudian hari. PMN menimbulkan hak seperti kepemilikan saham dan bagian keuntungan bagi pemerintah (APBN).

PMN kepada BUMN hampir selalu dialokasikan tiap tahun APBN, dengan nilai fluktuatif. Jumlah BUMN yang menerima PMN pun berfluktuasi. Sebagian BUMN menerima PMN beberapa kali pada tahun anggaran berbeda.  

Selama era pemerintahan Presiden SBY pertama (2005-2009), total nilai PMN kepada BUMN sebesar Rp19,04 triliun. Pada periode keduanya (2010-2014) meningkat menjadi sebesar Rp27,9 triliun.

Pemerintahan Presiden Jokowi pertama (2015-2019) melipatgandakan PMN kepada BUMN, hingga mencapai Rp142,77 triliun. Puluhan BUMN memperoleh PMN. Lebih banyak dari era sebelumnya.

Narasi kebijakan yang disampaikan kemudian banyak dikenal dengan istilah “penugasan BUMN”. Banyak proyek prioritas nasional (PSN) dari pemerintah diharapkan akan ditangani secara langsung oleh beberapa BUMN.

Penugasan membuat beberapa BUMN tidak sekadar mengelola urusan yang selama ini mereka jalankan. Ada tambahan beban kelolaan, meski sebagiannya masih berkaitan dengan bisnis inti BUMN bersangkutan.      

Berdasar outlook APBN 2021 dan APBN 2022, nilai PMN kepada BUMN dipastikan meningkat pada era kedua Jokowi. Pada tahun 2020-2022 saja telah dialokasikan sebesar Rp141,07 triliun.