Oleh: Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia tahun 2022 mencapai 5,31%. Capaian kinerja yang terbilang cukup baik, sesuai harapan Pemerintah. Namun, beberapa catatan kritis perlu diberikan atas diasgregasi atau rincian data pertumbuhan ekonomi tersebut.
Siaran pers Kementerian Keuangan (07/02/2023) mengutip pernyataan gembira Menteri Keuangan Sri Mulyani, “Alhamdulillah meski sejak tahun 2022 pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan melambat, ekonomi Indonesia mencatatkan konsistensi tren pertumbuhan yang sangat baik”. Judul siaran pun bernuansa klaim hasil kerja, yaitu “Pemerintah Kinerja Baik APBN Antar Ekonomi Tahun 2022 Tumbuh 5,3% di Tengah Tekanan Global”.
Disampaikan pula optimisme Pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 masih akan tetap kuat meskipun dihadapkan pada prospek melambatnya perekonomian global. Laju pemulihan yang sangat kuat di tahun 2022 diyakini bisa menjadi pijakan kokoh bagi perekonomian nasional menghadapi tantangan jangka pendek dan melanjutkan agenda pembangunan jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 memang merupakan capaian tertinggi selama era Pemerintahan Presiden Jokowi. Jauh melampaui rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi sebesar 5,03% selama periode tahun 2015 sampai dengan 2019. Pandemi sempat berdampak perekonomian terkontraksi sebesar 2,07% pada tahun 2020 dan hanya tumbuh sebesar 3,70% pada tahun 2021.
Pertumbuhan sektor utama belum cukup tinggi
Seluruh sektor yang terdiri dari 17 lapangan usaha memang mengalami pertumbuhan pada tahun 2022. Sayangnya, pertumbuhan tinggi justeru tidak dialami oleh sektor yang menjadi fundamen perekonomian nasional saat ini, dan tergolong bukan yang berporsi besar dalam hal penyerapan atas tenaga kerja. Diantaranya: Transportasi dan Pergudangan (19,87%), Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (11,97%), dan Jasa Lainnya sebesar 9,47%.
Sektor Industri Pengolahan hanya tumbuh sebesar 4,89% atau di bawah laju pertumbuhan ekonomi. Sektor ini masih memberi kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi, yakni sebesar 0,82%. Disebabkan porsinya dalam keseluruhan Produk Domesti Bruto (PDB) masih yang terbesar.
Sektor Industri pengolahan memang selalu tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012. Selama era tahun 2011-2019, rata-rata tumbuh 4,65%, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,33%. Khusus era tahun 2015-2019, rata-rata hanya tumbuh 4,19%, sedangkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03%.
Akibatnya, meski masih yang terbesar, porsi industri pengolahan dalam PDB cenderung menurun. Porsinya masih sebesar 22,04% pada tahun 2010, kemudian turun menjadi 21,08% pada tahun 2014, dan sebesar 19,25% pada tahun 2021. Penurunan masih berlanjut pada tahun 2022 yang hanya mencapai 18,34%. Fenomena ini mengindikasikan terus berlangsungnya deindustrialisasi prematur.
Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang berporsi terbesar kedua hanya tumbuh sebesar 2,25% pada tahun 2022. Pertumbuhannya telah rendah pada tahun 2020 dan 2021, yakni sebesar 1,77% dan 1,87%. Selama tiga tahun berturut-turut, tumbuh lebih rendah dibanding rata-ratanya sebelum pandemi pada tahun 2011-2019 yang mencapai 3,95%.
Sektor Tanaman Pangan sebagai subsektor lapangan usaha pertanian bahkan hanya tumbuh 0,08% pada tahun 2022. Lebih rendah dari rata-rata sebelum pandemi pada tahun 2011-2019 yang sebesar 1,65%.
Sektor Konstruksi pun hanya mampu tumbuh 2,01% pada tahun 2022, setelah pada tahun 2021 tumbuh sebesar 2,81%, dan kontraksi (minus) 3,26% pada tahun 2020. Masih sangat jauh dari rata-rata pertumbuhan sebelum era pandemi, tahun 2011-2019, yang mencapai 6,54% per tahun. Hal ini juga tidak sejalan dengan narasi kebijakan yang terus memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
Sektor Pertambangan dan Penggalian yang justeru kembali tampil cukup dominan. Pertumbuhan sebesar 4,38% pada tahun 2022 jauh melampaui rata-rata sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang hanya sebesar 1,31%. Porsinya dalam struktur ekonomi pun melesat menjadi 12,22%. Hal ini bukan petanda baik bagi fundamental ekonomi dan transformasi perekonomian Indonesia.
Risiko Tidak Berkelanjutan dalam Komponen Pengeluaran
Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 yang dirinci menurut komponen pengeluaran juga memberi indikasi kurang berkualitasnya. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau yang bisa disebut sebagai komponen inbestasi hanya tumbuh 3,87%, atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Dan belum kembali pada rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang mencapai 6,02%.
Komponen Konsumsi Rumah Tangga memang sangat membaik dengan tumbuh sebesar 4,93% pada tahun 2022. Sebelumnya terkontraksi 2,63% pada tahun 2020 dan hanya tumbuh 2,02% pada tahun 2021. Akan tetapi masih di bawah pertumbuhan ekonomi dan rata-rata sebelum pandemi tahun 2011-2019 yang mencapai 5,12%.
Komponen Konsumsi Pemerintah justeru mengalami kontraksi atau minus sebesar 4,51% pada tahun 2022. Dengan kontraksi itu, sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi bersifat mengurangi sebesar 0,31% poin. Fakta ini kurang mendukung narasi kebijakan Pemerintah yang mengemukakan fiskal ekspansif ataupun APBN berperan penting mendorong pertumbuhan ekonomi.
Komponen pengeluaran yang tumbuh pesat pada tahun 2022 adalah Ekspor Barang dan Jasa yang mencapai 16,28%. Capaian ini melanjutkan pertumbuhan tinggi pada tahun 2021 yang sebesar 17,95%. Padahal sempat terkontraksi dalam pada tahun 2020 sebesar 8,42%.
Akan tetapi, pesatnya komponen ini kurang berdampak luas pada dinamika perekonomian nasional, terutama berupa kecilnya efek pengganda bagi kondisi ekonomi rakyat kebanyakan. Peningkatan terutama karena komoditas seperti batubara, minyak kelapa sawit, serta besi dan baja. kinerjanya dikhawatirkan sulit berkelanjutan karena sangat bergantung pada pasar dunia yang amat bergejolak.
Indikasi Lainnya Terkait Kualitas Pertumbuhan Ekonomi
Kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi tahun 2022 juga telah diindikasikan oleh fenomena ketenagakerjaan, kemiskinan dan ketimpangan. Jumlah penganggur masih sebanyak 8,42 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,86% per Agustus 2022. Masih lebih buruk dibanding sebelum pandemi, yakni sebanyak 7,10 juta orang dan 5,28% per Agustus 2019.
Pekerja berstatus formal menurut klasifikasi BPS pun belum pulih, masih sebanyak 40,69% per Agustus 2022. Belum kembali pada porsi per Agustus 2019 yang sebesar 44,11%. Dengan kata lain, porsi pekerja informal yang justeru jauh lebih banyak.
Kondisi ketenagakerjaan yang masih kurang baik ditandai pula oleh besarnya jumlah pekerja tidak penuh dan mereka yang berstatus pekerja tidak dibayar. Begitu pula dengan sektor pertanian yang terpaksa menampung pekerja lebih banyak ketika pandemi, belum berhasil dipindah lagi ke sektor lainnya hingga Agustus 2022.
Jumlah penduduk miskin meningkat dari 24,79 juta orang per September 2019 menjadi 27,55 juta orang pada September 2020. Sedangkan persentase penduduk miskin meningkat dari 9,22% per September 2019 menjadi 10,19% per September 2020.
Jumlah penduduk miskin per September 2022 tercatat masih sebanyak 26,36 juta orang dan tingkat kemiskinan masih sebesar 9,57%. Lebih tinggi dibanding September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan 9,22%. Penurunan pada tahun 2022 dibanding 2021 terlampau kecil, atau bisa dikatakan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh secara berarti.
Sebagai penutup, penulis mengingatkan otoritas ekonomi untuk lebih serius memperhatikan aspek keberlanjutan dari pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun mendatang. Kualitas pertumbuhan tahun 2022 yang menurun dan tidak memperkuat fundamental ekonomi, meingkatkan risiko untuk kembali tumbuh di bawah 5% pada tahun mendatang. [rif]