Scroll untuk baca artikel
Blog

Candi Borobudur dan Pemerintah yang Tidak Kreatif

Redaksi
×

Candi Borobudur dan Pemerintah yang Tidak Kreatif

Sebarkan artikel ini

KEHEBOHAN bin kegaduhan itu semuanya berawal dari unggahan di akun resmi Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Tarif Candi Borobudur dipatok Rp750 untuk wisatawan domestik dan 100 dolar Amerika Serikat atau setara Rp1,4 juta untuk turis asing. Penaikan yang sangat fantastis!

Seperti biasa, bukan pejabat kalau tidak ngeles ketika keributan di masyarakat terjadi. Paling gampang menyalahkan media salah kutip, keliru tafsir dan tidak cermat. Publik tidak peduli apakah itu kenaikan tiket masuk atau tiket naik ke puncak hingga stupa paling tinggi di Candi Borobudur.

Tentu masyarakat berkunjung ke kawasan Borobudur jauh-jauh dari pelosok negeri tidak hanya untuk sekadar lesehan atau menikmati rumput di sekitar candi. Pengunjung targetnya ingin melihat keajaiban cagar budaya itu dari dekat, menapakinya, menikmati sensasi ketinggian, memelototi reliefnya serta mengapresiasi karya seni agung warisan nenek moyang tersebut.

Memang tarif masuk atau naik Candi Borobudur ini kalau tidak dianulir sangat mahal bila disandingkan dengan sejumlah peninggalan sejarah yang masuk dalam keajaiban dunia. Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Taj Mahal saja di India tarif masuknya hanya Rp47.000 dan kemudian Angkor Wat di Kamboja tarifnya Rp535.000. Artinya tetap saja tarif yang nyaris separuh UMR Jawa Tengah ini, masih mahal.

Alasan lucu yang dilontarkan pemerintah bahwa tarif yang dipatok mahal sebagai cara membatasi pengunjung agar kelestarian cagar budaya terjaga, sebagai alasan yang sesat pikir. Atau logikanya sangat dangkal.

Alasan pemerintah itu memiliki tiga konsekuensi. Pertama, orang miskin dilarang ke Candi Borobudur. Pengenaan tarif sebesar itu dari sebelumnya Rp50 ribu dianggap hanya memberikan karpet merah kepada orang kaya. Orang miskin sudah dilarang sakit di negeri ini eh dilarang pula wisata ke Candi Borobudur. Sadis!

Kedua, tarif yang fantastis tersebut dianggap sebagai hukuman. Demi kelestarian cagar budaya maka tarif dinaikkan sebagai efek jera sehingga orang berpikir dua kali untuk berwisata ke Candi Borobudur. Logikanya tidak masuk. Logika sungsang seperti ini juga bertolak belakang dengan kampanye pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisatawan dalam negeri atau nusantara pada 2022 yang ditargetkan 550 juta orang.

Arkian, alasan pemerintah yang masuk akal cuma soal pembatasan pengunjung sehari 1.200 orang untuk mengurangi beban atas candi tersebut sehingga tetap lestari.

Ketiga, publik menanyakan pajak. Seharusnya cagar budaya seperti Candi Borobudur didanai dengan pajak rakyat yang selama ini mereka bayarkan. Kenapa rakyat masih harus dibebani berbagai tarif lagi. Apa di negeri ini yang bebas pajak. Tidak ada, semuanya dipajaki. Penulis kolom pun yang honornya tak seberapa tulisannya masih disunat pajak.

Kementerian tentu memiliki sejumlah kajian dan juga staf ahli yang bisa membuat kebijakan bagus sebelum wacana tersebut dilempar ke publik. Keputusan yang konyol hanya akan membuat negeri ini gaduh tiada henti.

Kalau memang tujuannya agar Candi Borobudur tetap terjaga dan lestari kenapa pemerintah tidak sekaligus menutup kawasan tersebut untuk wisatawan baik nasional atau luar negeri. Kalau tidak ditutup artinya tujuan pemerintah hanya untuk mencari duit bukan untuk melestarikannya.

Kenapa di era digital ini pemerintah tidak mengundang atau melihat para sineas, pelaku kreatif dan perusahaan rintisan untuk membuat wisata virtual Candi Borobudur. Tidak harus mengunjungi langsung candinya. Dengan demikian kemegahan dan nilai budaya dari Candi Borobudur bisa dinikmati siapa saja bahkan sampai ke samudra baru, Antartika.