Burung kalkun kemudian memainkan peran penting dalam dinamika budaya Renaisans di Inggris. Ia diternak di desa-desa, dijadikan subjek olahraga menembak oleh bangsawan kerajaan, dan disajikan di piring-piring dalam berbagai acara kerajaan dan ritus-ritus keagamaan.
Hal tersebut berujung pada mengakarnya tradisi mengkonsumsi daging kalkun sebagai penganan wajib pada hari raya. Di tanah air Inggris, daging kalkun biasanya dimasak pada hari Natal. Sementara di tanah koloni (Amerika Utara), kalkun lebih sering dikonsumsi—umumnya dipanggang—pada saat perayaan thanksgiving.
Tapi kalkun tak hanya populer sebagai skena kuliner. Di Amerika Serikat, bahkan burung kalkun sempat masuk dalam perdebatan terkait lambang negara. Itu terjadi tepat setelah Amerika Serikat merengkuh kemerdekaannya.
Pada hari ini, mungkin kita mengenal elang botak sebagai lambang negara Amerika Serikat. Namun pada mulanya, pemilihan elang botak itu tak lepas dari kritik.
Adalah Benjamin Franklin, yang menilai elang botak kurang merepresentasikan karakter bangsa Amerika Serikat.
Franklin menyadari bahwa elang botak adalah predator oportunis yang gemar mencuri mangsa dari predator lain.
Ia mengatakan: “Saya berharap elang botak tidak terpilih menjadi lambang negara kita. Dia adalah burung dengan karakter moral yang buruk. Burung elang botak tidak mendapatkan penghidupannya dengan jujur.”
Franklin lalu membandingkan elang botak dengan kalkun. Menurutnya, burung kalkun jauh lebih terhormat, dan lebih mencerminkan keaslian (native) Amerika.
“Selain itu, meskipun tampilan burung kalkun tampak sedikit konyol & tolol, dia adalah ‘burung keberanian’.”
Kalimat Franklin tersebut diketahui muncul dalam surat yang ia kirim kepada putrinya, Sarah. Meski tidak setuju, akan tetapi Franklin tidak pernah secara resmi menolak elang botak untuk dipilih sebagai simbol paling penting negeri Abang Sam.
Dan begitulah kalkun. Entah hal-hal ini penting untuk diketahui atau tidak, yang jelas burung yang tampak tolol ini punya latar sejarah cukup menarik. [dmr]