Scroll untuk baca artikel
Blog

Cerita Kebhinnekaan dan Persatuan dari Medan

Redaksi
×

Cerita Kebhinnekaan dan Persatuan dari Medan

Sebarkan artikel ini

BEBERAPA hari ini saya masih mendapatkan kiriman foto dan video dari teman di Medan. Foto-foto tersebut bercerita tentang sambutan masyarakat terhadap Anies Baswedan. Meskipun kunjungan tersebut sudah terjadi beberapa hari lalu (4-5 November 2022), tapi antusiasme teman-teman di Medan masih terasa hingga hari ini.

Ada satu benang merah yang bisa saya simpulkan dari kiriman foto tersebut, yaitu tentang keragaman masyarakat Medan dan Sumatra Utara. Salah foto yang menarik perhatian saya adalah saat Anies bersalaman dan berbincang dengan perwakilan dari warga India di Medan.

Berbincang tentang warga India di Medan, kita bisa melihat tentang kebhinnekaan di kota ini. Di Medan terdapat Kampung Madras, sebuah perkampungan warga keturunan India. Kampung ini sering disebut Little India dan memiliki luas sekitar 10 hektare.

Dari Kampung Madras ini, kita bisa belajar bagaimana kebhinnekaan dan persatuan itu tumbuh sekaligus. Kampung Madras adalah sebuah kampung yang berumur cukup tua. Kampung ini tumbuh di awal abad ke-19 atau awal tahun 1800-an. Waktu itu terjadi migrasi warga dari India ke Medan untuk bekerja, khususnya dari Tamil, Chettar, dan Punjab.

Di kampung ini berbagai jenis budaya India mewarnai, mulai dari pakaian hingga kuliner. Kita bisa melihat orang-orang yang melintas menggunakan pakaian khas India seperti sari. Kita juga bisa mencicipi makanan khas India mulai dari nasi biryani, roti cane, samosa, vada, hingga martabak khas India. Martabak telur yang sekarang berkembang di berbagai daerah di Indonesia memang adaptasi dari martabak dari India.

Keragaman di Kampung Madras, tidak sebatas pada aneka kuliner yang bisa dinikmati masyarakat Medan. Keragaman juga terlihat dari berdirinya tempat ibadah di kampung ini. Di Kampung Madras terdapat kuil Hindu tertua, yaitu Kuil Sri Mariamman. Selain itu terdapat juga kelenteng terbesar di Medan yaitu Vihata Gunung Timur. Di kampung ini juga terdapat masjid yang berumur cukup tua yang didirikan oleh kaum Muslim India yang bernama Masjid Ghaudiyah.

Dari sebuah kampung saja, kita bisa melihat keragaman budaya dan agama yang begitu kaya. Hebatnya lagi, mereka hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Mereka bisa Bersatu dan bekerja sama dalam kehidupan sehari-sehari.

Tak heran, saat kunjungan ke Medan, Anies disambut oleh masyarakat dari berbagai latar belakang budaya dan agama. Anies juga berdialog dengan para tokoh lintas agama saat berada di Medan. Semangat untuk berbagi gagasan dan latar belakang ini yang harus terus dipupuk di Republik ini.

Keragaman, tak ada artinya tanpa persatuan. Saat berbagai pihak dengan latar belakang berbeda tersebut bisa berdialog dan berkomunikasi dengan baik, setiap masalah yang ada di negeri ini akan bisa dipecahkan. Kita bisa belajar dari kunjungan Anies kemarin di Medan.

Hal seperti ini, tentu akan terus dilakukan dan dihidupkan oleh Anies. Berdialog dan mencari solusi dengan berbagai unsur dan latar belakang sudah dijalankan Anies saat memimpin Jakarta selama lima tahun. Tak heran, Jakarta jadi kota dengan pertumbuhan toleransi terbaik di Indonesia berdasar riset Setara Institut.

Dari apa yang diupayakan di Jakarta dan didiskusikan di Medan, kita harus dukung Anies Baswedan untuk mewujudkannya ke seluruh sudut NKRI. Menciptakan harmoni dari ragam budaya untuk menyatukan tujuan besar bangsa harus kita dukung dan upayakan. Semoga Indonesia lebih baik dan lebih berkeadilan sosial di masa depan. [rif]