Kalaulah terlalu sukar untuk menemukan posisi Jokowi terhadap Anies Baswedan, dua ungkapan tentang Pipres 2024 pada malam HUT Golkar adalah klimaks dari seluruh ketidaksukaannya terhadap Gubernur DKI itu.
Oleh: Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA
(Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh)
ENAM bulan yang lalu, tepatnya tanggal 22 Maret 2022, kolumnis kondang The New York Times, Tom Friedman, menulis tentang tiga tokoh besar dunia, Vladimir Putin, Donald Trump, dan Xi Jinping.
Ketiga mereka berupaya keras memperpanjang masa jabatannya. Satu berhasil, Putin, satu lagi, dalam penantian-pada saat itu, Jin Ping, dan satunya lagi, Trump, gagal total.
Walaupun sudah 6 bulan, Tom belum menulis tentang Indonesia, padahal dia tahu negeri ini adalah demokrasi tiga besar dunia, setelah India dan AS. Tom juga sangat tahu betapa prospek Indonesia di kawasan Indo-Pasifik saat ini dan di masa depan.
Ia bukan tidak mungkin juga familiar dengan prediksi Indonesia akan menjadi nomor empat ekonomi terbesar global pada tahun 2030, setelah China, India, dan AS, versi Standard Chartered Bank dan Price Water Coopers.
Mungkin dia sedang sibuk dengan pemilihan senat dan anggota kongres tengah Periode AS. Atau mungkin juga dia sibuk mengamati gejala awal frutrasi dan kekalahan Putin di Ukraina.
Bukan tidak mungkin pula dia juga tertarik dengan fenomena PM baru Inggris jebolan MBA Stanford, Rishi Sinak. Di tiga negara itu presidennya ngotot secara berlebihan untuk perpanjangan masa jabatan.
Di Indonesia keinginan itu juga ada, langsung atau tak langsung. Pendukung petahana dan mungkin juga petahana, awalnya ngotot, tetapi ngototnya malu-malu.
Mungkin Tom tidak buru-buru harus menulis tentang Indonesia, karena hasil akhir pergantian jabatan Presiden RI masih cukup lama, yaitu awal 2024. Yang pasti skor hari ini 2-1, dua berhasil, satu gagal. Skor itu bisa 2-2 atau bisa saja berobah 3-1, walaupun memerlukan deksipsi panjang untuk penjelasannya.
Beda Nasib Jin Ping, Putin, dan Trump
Sebelum menerima mandat untuk periode ketiga, beberapa hari yang lalu, Xi Jin Ping dengan mudah mengubah konstitusi RRC melalui Kongres Nasional Rakyat. Ia melakukan setahun sebelumnya dengan sangat sistematis.
Dengan komposisi 2,958 menerima, 2 suara menolak, dan 3 abstain, terhapus sudah pembatasan periode dua kali jabatan presiden Cina. Beberapa hari yang lalu beredar video Hu Jintau-mantan Presiden sebelumnya, dikawal ketat dan dikeluarkan dari arena Kongres PKC.
Jin Ping mengirim pesan kepada publik domestik dan internasional, Tiongkok kini sepenuhnya di tangannya. Lupakan saja antek Deng Xioping seperti Hu Jintau dan Jang Zemin.
Warisan reformasi yang diperjuangkan dan diukir oleh Deng Xioping yang sangat monumental itu, kini telah jadi sejarah. Hari ini, peluang menjadi presiden seumur hidup, telah dimulai oleh Jin Ping.
Putin juga tak jauh beda dengan Jin Ping. Pembatasan dua periode jabatan presiden Rusia dirobahnya secara sistematis. Ia mengubah konstitusi Rusia pada tahun 2008, dan dilanjutkan pada tahun 2020. Ketentuan undang-undang dua periode jabatan presiden Rusia, hilang tak berbekas.
Ia dengan mudah mendikte parlemen Rusia, Duma, untuk perubahan itu. Putin terpilih tahun 2000, berlanjut 2004, 2014, dan 2018.
Jika tak ada halangan, Putin akan mengakhiri masa jabatannya saat ini pada tahun 2024. Namun, Putin adalah tiran jenius. Amanden konstitusi memberikan lagi peluang kepadanya dua kali enam tahun.
Ia akan berumur 83 tahun saat itu, dan kalau ia sehat, Putin hanya kalah dengan Stalin dalam hal lamanya berkuasa. Apa yang dialami Putin dan Ji Ping tidak terjadi di AS.
Trump yang sangat berambisi untuk masa kedua, dua tahun yang lalu, bahkan dengan mengerahkan “people’s power”, mengalami nasib tragis. Ia gagal. Terlalu kecil gelombang Trump dibandingkan dengan kekuatan lembaga demokrasi AS.