Dimulai dengan menggerakkan 3 tokoh partai koalisi di parlemen, ide perpanjangan masa jabatan dilemparkan. Ibarat makanan basi yang dijual di kaki lima, wacana tokoh dari tiga partai itu ditanggapi dingin dalam koalisi. Kreativitas itu menjadi tumpul, ketika dua partai pendukung utama mengirim signal tidak setuju.
PDI Perjuangan dan NasDem berdiri tegak tak menyambut gagasan perpanjangan masa jabatan itu. Dalam status tak jelas tentang wacana itu, tampillah promotor utama, yang sudah lama berada di balik tabir, atau mungkin tak berani tampil.
Tak tanggung tanggung, yang diperkenalkan adalah gagasan hibrid baru demokrasi. Namanya demokrasi digital. Klaim yang diajukan juga tak sembarang, 110 juta pengguna media sosial, ingin pemilu ditunda.
Jika Putin mengacaukan pemilihan Presiden AS yang membuat Trump menang dengan berbagai propaganda di sosial media, di negeri ini justeru perbincangan sosial media yang ingin dijadikan jusfikasi penundaan pemilu.
Itupun belum pasti ada dan benar. Kegagalan upaya merobah konstutitusi rupanya tak menghentikan impian untuk kelanjutan berkuasa.
Mungkin karena rujukan Rusia, perlu dicari Dmitry Medvedev Indonesia. Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan.
Tukar guling Rusia sangat sederhana, Presiden menjadi Perdana Menteri, sementara Perdana Menteri menjadi menjadi Presiden. Walaupun Putin sebagai presiden berpindah menjadi Perdana Menteri pada tahun 2008, dan Medvedev menjadi Presiden, semua orang tahu siapa penguasa Rusia yang sesungguhnya.
Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan. Improvisasi model Rusia untuk Indonesia kemudian didapatkan rumusnya. Prabowo Subianto -pernah menjadi Capres dua kali- kini Menteri Pertahanan, menjadi presiden, sementara Jokowi menjadi wakilnya.
Apa yang terjadi? Publik tak menanggapi, dan bahkan menjadi sebuah olok-olok.
Tak berlebihan, ketua Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sosok idealis dan objektif, mengeluarkan kritik keras, baik untuk presiden tiga periode, maupun untuk menjadi Wapresnya Prabowo.
Warna asli keinginan untuk bertahan dengan segala cara dan membendung Capres yang tak diiginkan, akhirnya terbongkar dengan sangat gamblang ketika HUT Golkar pada tanggal 22 Oktober yang baru lalu.
Dalam sambutannya, yang nampaknya seolah rileks dan penuh guyon, Presiden Jokowi melepas dua missil Javelinnya. Peringatan itu ditujukan kepada keluarga besar Golkar, anggota partai koalisi, dan bahkan publik nasional secara keseluruhan. Kedua missil itu adalah ungkapan, “sembrono”, dan “jam terbang”.