Dan itu jelas ditujukan kepada NasDem dan Anies Baswedan. Sekalipun tersenyum, ketika ia mengatakan “sembrono” ada nada dan bahasa tubuh yang mengirim pesan kepada audiens, terutama kepada Nasdem, bahwa “saya ndak suka itu”. Ketidaksukaan itu kemudian menjadi lebih terang benderang, ketika ia menyebut “jam terbang”, dan itu jelas ditujukan kepada Anies yang seolah hanya baru satu periode menjabat Gubernur.
Penafsiran tentang kepemimpinan Indonesia masa depan, kini seolah menyatu dengan diri Presiden Jokowi sendiri. Apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan, seolah itulah jalan Indonesia masa depan yang benar.
Kalaulah terlalu sukar untuk menemukan posisi Jokowi terhadap Anies Baswedan, dua ungkapan tentang Pipres 2024 pada malam HUT Golkar adalah klimaks dari seluruh ketidaksukaannya terhadap Gubernur DKI itu.
Walaupun statemennya ringan dan rileks, kedua ungkapan itu adalah refleksi emosi yang umurnya sudah tahunan. Bukan tidak mungkin, ketidaksukaan itu dimulai dari pemecatan Anies dari Mendiknas pada akhir Juli 2016, tanpa sebuah penjelasan kepada publik.
Ketidaksukaan itu terus mengalir mencapai sejumlah titik puncak, Anies mengalahkan Ahok, Anies stop reklamasi, Anies tentang Covid-19, dan Anies Formula E. Lanjutannya, Anies dicintai warga DKI, dan kini bahkan dicintai masyarakat nasional secara luas.
Pengumuman NasDem untuk pencalonan Anies sebagai Capres seolah menjadi “nubuat” final bagi rezim petahana. Sejarah kejatuhan Konstantinopel pada 22 Mai 1453 yang dihubungkan dengan gerhana bulan pada tanggal yang sama, yang disaksikan oleh Konstantin IX dan rakyatnya, seolah mempunyai analogi profetik dengan keputusan launching Anies sebagai Capres Nasdem oleh Surya Paloh.
Namun, alih-alih meniru Konstantin IX yang turun ke gelangang bertarung secara jantan melawan pasukan Mehmet sang penakluk, apa yang terjadi justeru tontonan yang sangat tidak berkelas.
“Sembrono” dan “jam terbang” adalah dua ungkapan yang seharusnya tidak dialamatkan kepada NasDem dan Anies, karena Jokowi pun ketika dicalonkan berurusan dengan dua ungkapan itu.
Kalaulah ia sadar tentang pencalonanya pada Pilpres 2014 yang dilakukan oleh PDI Perjuangan dan Partai Nasdem, ia tidak akan pernah menggunakan ungkapan itu. Salah satu sebab Capres PDI Perjuangan 2014 menjadi tidak sembrono dan menggelegar adalah kehadiran Surya Paloh dengan NasDemnya pada waktu itu.
Menggunakan ungkapan sembrono untuk keputusan Nasdem mencalonkan Anies untuk Capres 2024, juga jelas sekali sangat emosional. Karena 3 dari 4 Pilpres yang menang adalah pasangan yang salah satu “a few first” promotornya adalah Surya Paloh. Dua di antaranya membuat Jokowi menang.