Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Ciliwung Institute: Pemerintah Abai dalam Tata Kelola Ruang dan Manajemen Sumber Daya Air

Redaksi
×

Ciliwung Institute: Pemerintah Abai dalam Tata Kelola Ruang dan Manajemen Sumber Daya Air

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Hari Sungai Nasional diperingati setiap tanggal 27 Juli. Penetapan ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2011 pasal 74 tentang sungai. Meski sudah diperingati sejah sepuluh tahun lalu, namun hingga kini belum ada kemajuan berarti mengenai pemulihan dan tata kelola sungai Indonesia.

Berdasarkan data BPS, sekitar 46 persen sungai tercemar berat, 32 persen tercemar sedang berat, 14 persen tercemar sedang, dan 8 persen tercemar ringan. Selain itu, bencana banjir dan kekeringan hampir merata terjadi di seluruh pelosok nusantara di setiap musim hujan dan kemarau.

Menurut Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, sungai bukan lagi menjadi sumber kehidupan bagi warga, namun telah dikemas menjadi nilai proyek infrastruktur yang menjadi sumber bencana dan fasilitas gratis untuk pembuagan limbah industri.

Asun mengatakan penyerapan anggaran terbesar dominan dikuasai oleh pemegang otoritas sungai pemerintah pusat di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).

“Kebijakan tata kelola sungai hanya diterjemahkan ke dalam besaran nilai proyek infrastruktur masif di badan sungai seperti pembangunan DAM bendungan dan tanggul betonisasi sungai.  Terbukti, pengelolaan sungai di bawah KemenPUPR telah mengerdilkan urusan sungai hanya pada persoalan bagaimana mengatasi banjir dengan pemikiran instan dengan betonisasi sungai supaya mempercepat aliran air ke laut,” kata Asun kepada tim Barisan.co, Selasa (27/7/2021).

Asun menilai jika sungai hanya dianggap sebagai saluran drainase pembuangan air kotor sehingga dialihfungsikan menjadi bangunan kanal-kanal beton. Asun pun menambahkan membuang air sungai dalam waktu sesingkat-singkatnya ke laut merupakan pemikiran kuno dan warisan kolonial.

“Dulu, Pekerjaan Umum bernama Dept. van Burgerlijke Openbare Werken atau BOW. Sering dipelesetin dengan sebutan Batavia Under Water karena dianggap ‘gak becus’ urus banjir. Dari sejarah banjir Batavia, pembangunan Kanal Banjir Barat maupun rencana Kanal Banjir Timur bagian dampak alih fungsi pemanfaatan lahan di hulu pembukaan hutan menjadi luasan kebun-kebun komoditi karet, tebu, teh dan kopi. Kemudian, akar persoalan banjir ialah besarnya beban limpasan air koefisien run-off akibat perubahan dan inkonsistensi perlindungan tata ruang di kawasan hulu yang diteruskan sampai saat ini. Tanpa ada sedikit pun intervensi,” tambah Asun.

Asun menyampaikan dari data Forest Watch Indonesia, tutupan hasil temuan tahun 2016 terkait kondisi tutupan hutan di hulu DAS Ciliwung yang tersisa kurang dari 12 persen yang secara keseluruhan 29 ribu hectare. Adapun data keseluruhan hulu-hilir kurang dari 8 persen dari total luas Kawasan DAS yang mencapai angka 38 ribu hektar.

“Kondisi ini tidak sesuai dengan yang diamanatkan di dalam undang-undang, dimana keberadaan hutan sebagai daerah resapan air yang optimal harus mempunyai luasan yang cukup dengan sebaran proposional, minimal 30 persen dari luas DAS. Dapat dilihat, kekeringan di Bogor ditandai dengan menurunnya tinggi muka air di Sungai Ciliwung. Hari ini, 26 Juli 2021 TMA Bendungan Katulampa Bogor menunjukkan titik terendah, yaitu 0 cm. Kondisi kering 0 cm menjadi ritual tahunan bulan Mei- September. Artinya? Debit air yang masuk ke Sungai Ciliwung 0 liter perdetik. Sebaliknya ketika hujan deras sebentar TMA bisa melonjak ke Siaga II 200 cm, kondisi ini memperlihatkan bahwa daya dukung lingkungan wilayah hulu das Ciliwung tidak lagi mampu melindungi daerah di hilirnya, khususnya dalam hal penyediaan sumber air dan pengendalian banjir Jakarta,” papar Asun.