Scroll untuk baca artikel
Blog

Congkel – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Congkel – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Sekilas mata Mak Darsem sempat mengeja deretan huruf yang terpampang di name tag itu.  Dr. Budiman.  Begitulah bunyi ejaan deretan huruf-huruf yang ada di name tag dokter tersebut.

“Pagi Mak!” sapa dokter Budiman seperti sengaja hendak menggugah keheningan doa Mak Darsem. 

Tanpa perlu menunggu jawaban dari Mak Darsem, Tangan dokter Budiman telah terlihat menempelkan punggung tangannya ke jidat Hansip Diran. 

Ajaib, seketika itu juga mata petugas keamanan kantor desa tersebut membuka matanya.  Seulas senyum tampak menghiasi bibirnya.  Padahal hari-hari sebelumnya Hansip Diran tak sekejap pun berani membuka kelopak matanya.

“Sudah tidak pusing lagi ya Pak?” tanya dokter Budiman dengan lembut dan ramah. 

Sementara itu perawat terlihat sibuk mengukur tekanan darah dan suhu tubuh Hansip Diran.  Mak Darsem yang sedari tadi hanya duduk tercenung berusaha membantu sebisanya ketika perawat tersebut menyiapkan obat untuk diberikan kepada Hansip Diran.

“Obatnya diminum dulu Pak!” kata perawat tersebut sambil berusaha membantu Hansip Diran duduk.

“Kalau keadaannya stabil seperti ini,nanti sore Bapak sudah boleh pulang!” sambung dokter Budiman setelah membaca laporan yang disodorkan oleh perawat yang mendampinginya tersebut.

“Sesampai di rumah nanti silahkan ajukan cuti barang beberapa hari.  Nanti akan Saya buatkan surat pengantarnya.  Jangan keburu bekerja,” sarannya lagi sembari menulis sebuah memo di atas kertas notesnya.  Nada bicaranya terdengar sangat penuh perhatian.

“Alkhamdulillah!” sahut Mak Darsem lega.  Mendadak wajah perempuan tua itu berbinar-binar ketika mendengar bahwa anaknya sudah boleh pulang.  Itu berarti Hansip Diran sudah dinyatakan sehat.

“Kalau boleh Saya tahu, bagaimana awal mula kejadiannya Pak?” tanya dokter Budiman dengan senyumnya yang ramah sekali. 

Melihat dokter Budiman hendak berbincang-bincang dengan pasiennya, perawat yang sedari tadi sibuk memeriksa lembar kontrol pasien segera menyeret sebuah kursi ke samping dipan Hansip Diran agar dokter Budiman dapat duduk dengan santai.  Berkali-kali terlihat Hansip Diran menghela nafas panjang.  Mungkin ia tidak tahu harus dari mana memulai ceritanya.

“Sudah dua tahun ini saya bekerja sebagai petugas keamanan kantor desa,” ucap Hansip Diran memulai ceritanya. 

Wajah dokter Budiman terlihat serius mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Hansip Diran.  Tampaknya dokter itu tidak hanya heran tapi juga takjub bercampur bingung menyimak seluruh cerita Hansip Diran.  Mungkin bagi dokter Budiman, cerita Hansip Diran tersebut lebih mirip dengan cerita film horor yang biasa ia lihat di televisi.

“Jangan-jangan kini Saya juga terlihat seperti Buto Genthong?” sahut dokter Budiman sesaat setelah mendengar cerita Hansip Diran.  Nadanya yang terdengar berkelakar itu spontan membuat semua penghuni ruang rawat inap puskesmas itu tertawa terbahak-bahak tak terkecuali dengan Hansip Diran.

“Lalu siapa saja yang tiba-tiba terlihat seperti Buto Genthong itu Pak?” tanya dokter Budiman sambil mematikan Hpnya. 

Dokter yang juga pengusaha itu tampaknya semakin penasaran saja dengan cerita yang keluar dari mulut Hansip Diran.  Detik selanjutnya dokter Budiman terlihat telah memberi isyarat kepada perawat yang membersamainya.  Rupanya dokter Budiman tak ingin pembicaraannya dengan Hansip Diran didengar oleh orang lain.  Sejurus kemudian perawat itupun telah lenyap ditelan kelokan lorong puskesmas.

Lama Hansip Diran tak segera menjawab pertanyaan dokter Budiman.  Ia seperti ragu-ragu untuk menjawab pertanyaannya.  Lelaki itu terus terang takut karrena dari perkataannya nanti,pastilah ia dapat dituduh telah mencemarkan nama baik seseorang.