Bagi Kerajaan Ternate, ini seperti mengulang sejarah kemenangan. Hanya kali ini atas bala bantuan koalisi barunya, Belanda. Di saat yang sama Ternate juga mengulang sejarah serupa, di mana, ia memiliki koalisi yang karakternya tidak jauh berbeda dari sebelumnya.
Belanda sebagai penguasa ekonomi baru, rupanya juga menunjukkan garis politik yang cenderung melahirkan pertentangan sosial di kalangan masyarakat. Belanda, misalnya, lebih menyukai orang Ambon Kristen dan tidak memercayai orang Ambon Muslim.
Pembilahan etnis dan kelas terjadi di antara warga. Adu kuat etnis yang dipromotori Belanda semakin kentara pada masa sekitar 1605-16011, ketika Frederick de Houtman menjadi Gubernur VOC Ambon, di mana beberapa pemuda Ambon dibawa ke Belanda untuk dibimbing menjadi guru dan diharapkan dapat menyebarkan agama Kristen.
Orang Ambon Kristen memang pada masa itu memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibanding Ambon Muslim. Mereka juga diberi posisi di lembaga administrasi di Maluku.
Kecenderungan demikian, sialnya, memperkuat akar konflik yang muncul jauh di masa-masa berikutnya.
Kelak di suatu masa yang baru, tepatnya setelah reformasi 1998, pecah konflik kaum Muslim dan Kristen akibat perasaan saling tidak percaya yang dipelihara turun-temurun itu.
Kedua kelompok saling mengunakan simbol keagamaan sebagai pembenar. Kekerasan sempat terhenti namun berkobar lagi pada tahun 2000 karena kehadiran Muslim militan. Insiden tersebut, menurut catatan peneliti LIPI Cahyo Pamungkas, menyebabkan kematian 4.840 jiwa di Maluku.
Pada tahun 2002, para pemimpin Muslim dan Kristen menyepakati perjanjian damai. Kedua kelompok ini menyadari pertempuran hanya menyebabkan penderitaan. Dan kini, Maluku pada umumnya dan Ambon khususnya, adalah tentang rekonsiliasi perdamaian dan saling pengertian. []