BARISAN.CO – Empat kapal, berisi 249 awak, dikomandoi Frederick dan Cornelis de Houtman, bertolak dari pelabuhan Texel Amsterdam pada tanggal 2 April 1595.
Setahun kemudian mereka sampai di pelabuhan Banten. Dan sejak hari mereka berlabuh itulah, tepatnya Minggu Pahing 23 Juni 1596, kisah-kisah penjajahan Belanda di Nusantara bermula.
Dua tahun setelah Banten, 1598, Cornelis de Houtman kembali bertolak memimpin ekspedisi 22 kapal dan ia berhasil melego jangkarnya di Ternate, Maluku. Awalnya rombongan Cornelis datang dengan pembawaan umumnya pedagang. Tidak perlu menunggu tiga kali purnama sebelum akhirnya mereka berubah menjadi pemilik kekuatan ekonomi—dan militer—yang besarnya tak kepalang tanggung.
Maluku bisa dikata adalah tonggak awal kekuasaan Belanda. Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Nugorho Notosusanto dkk menyebut bahwa berbaliknya Belanda dari sekadar “tamu” menjadi penguasa di Nusantara itu terjadi pada tahun 1605.
Belanda menjadi kekuatan besar atas cengkeraman kuatnya di nusantara. Bahkan boleh dibilang, Belanda menguasai perdagangan rempah-rempah mulai dari sumber, rute dagang, sampai nyaris keseluruhannya.
Bara Konflik di Maluku
Mari mundur beberapa waktu dan lupakan sebentar kehadiran Belanda di Kepulauan Maluku. Sebab sebelum mereka tiba, wilayah ini merupakan ladang perseteruan dua kerajaan lokal yang bara konfliknya turut dikipas-kipasi dua bangsa asing, mereka semua adalah: Ternate, Tidore, Portugis, dan Spanyol.
Portugis dan Spanyol, pada 1512, sama-sama tiba di Maluku saat kepulauan ini sudah berkecamuk oleh perang saudara. Perang saudara jelas terdengar buruk, tapi tidak bagi mereka yang melihatnya sebagai kesempatan untuk menanamkan pengaruh dan mengambil keuntungan.
Oleh sebab itulah Portugis dan Spanyol mendatangi dua saudara yang sedang berseteru itu. Portugis mendatangi Ternate dan Spanyol mendatangi Tidore. Dua wangsa Eropa itu sama-sama menawarkan bantuan. Mereka disambut sebagai sekutu politik.
Singkat cerita, seiring perseteruan berlangsung, rupanya Portugis lebih kuat dalam membantu Ternate.
Akhirnya: Tidore takluk. Spanyol angkat kaki. Ternate menguasai wilayah yang makin luas. Portugis diberi izin perdagangan rempah di seantero Maluku atas jasanya membantu Ternate.
Hubungan Ternate dengan Portugis kian erat dari waktu ke waktu. Itu membuat Portugis leluasa melakukan monopoli perdagangan. Portugis juga makin menancapkan pengaruhnya dengan menyebarkan agama Kristen (Katolik) di tanah Maluku.
Tapi di sisi lain, Portugis juga kerap memicu pertentangan kepentingan dengan Ternate maupun kerajaan tetangga. Pelahan-lahan, Ternate yang awalnya menganggap Portugis sebagai kawan pun mulai gerah. Pada satu titik, kehadiran Portugis bahkan dinilai terlalu ngelunjak dengan mencampuri urusan kerajaan.
“Campur tangan Portugis dalam soal-soal intern kerajaan membawa mereka terlibat dalam pertikaian politik antarkerajaan, pada umumnya lebih merugikan daripada menguntungkan,” seperti ditulis Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium.
Pada gilirannya, terjadilah perseteruan antarkeduanya. Ternate dan Portugis yang pada mulanya berkawan pada akhirnya saling melawan. Di titik inilah kemudian Ternate mulai menjalin koalisi dengan Belanda (VOC).
Pada tanggal 23 Februari 1605, kapal-kapal VOC menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon. Benteng pertahanan Portugis diserang bertubi-tubi dan berhasil dijebol.
Portugis menyerah tanpa syarat. VOC menang dan berjaya. Dan kejadian itu sering disebut sebagai akhir pengaruh Portugis di Maluku.
Bagi Kerajaan Ternate, ini seperti mengulang sejarah kemenangan. Hanya kali ini atas bala bantuan koalisi barunya, Belanda. Di saat yang sama Ternate juga mengulang sejarah serupa, di mana, ia memiliki koalisi yang karakternya tidak jauh berbeda dari sebelumnya.
Belanda sebagai penguasa ekonomi baru, rupanya juga menunjukkan garis politik yang cenderung melahirkan pertentangan sosial di kalangan masyarakat. Belanda, misalnya, lebih menyukai orang Ambon Kristen dan tidak memercayai orang Ambon Muslim.
Pembilahan etnis dan kelas terjadi di antara warga. Adu kuat etnis yang dipromotori Belanda semakin kentara pada masa sekitar 1605-16011, ketika Frederick de Houtman menjadi Gubernur VOC Ambon, di mana beberapa pemuda Ambon dibawa ke Belanda untuk dibimbing menjadi guru dan diharapkan dapat menyebarkan agama Kristen.
Orang Ambon Kristen memang pada masa itu memiliki tingkat pendidikan mereka lebih tinggi dibanding Ambon Muslim. Mereka juga diberi posisi di lembaga administrasi di Maluku.
Kecenderungan demikian, sialnya, memperkuat akar konflik yang muncul jauh di masa-masa berikutnya.
Kelak di suatu masa yang baru, tepatnya setelah reformasi 1998, pecah konflik kaum Muslim dan Kristen akibat perasaan saling tidak percaya yang dipelihara turun-temurun itu.
Kedua kelompok saling mengunakan simbol keagamaan sebagai pembenar. Kekerasan sempat terhenti namun berkobar lagi pada tahun 2000 karena kehadiran Muslim militan. Insiden tersebut, menurut catatan peneliti LIPI Cahyo Pamungkas, menyebabkan kematian 4.840 jiwa di Maluku.
Pada tahun 2002, para pemimpin Muslim dan Kristen menyepakati perjanjian damai. Kedua kelompok ini menyadari pertempuran hanya menyebabkan penderitaan. Dan kini, Maluku pada umumnya dan Ambon khususnya, adalah tentang rekonsiliasi perdamaian dan saling pengertian. []
Diskusi tentang post ini