BARISAN.CO – Sempat tenggelam dari resonansi percakapan publik, rencana pemindahan Ibu Kota Negara kembali ramai setelah Presiden Jokowi mengunggah video yang mencitrakan bakal desain istana negara di Kalimantan, pekan lalu.
Di video berdurasi dua menitan itu tampak bangunan menyerupai burung garuda raksasa yang, menurut keterangan, didesain oleh pematung Nyoman Nuarta. “Saya mengharapkan istana negara ini jadi kebanggaan bangsa sekaligus mencerminkan kemajuan bangsa,” ujar Jokowi.
Tapi rupanya kritik langsung bermunculan. Bahkan sejak diperlihatkan pradesain satu gedung saja, setidaknya beberapa asosiasi profesi arsitek sudah buka suara.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) I Ketut Rana Wiarcha, misalnya, menyebut bangunan istana negara tidak mencirikan kemajuan. “Sangat tidak mencerminkan kemajuan peradaban bangsa, terutama di era digital, dan era bangunan emisi rendah dan pasca-Covid-19,” kata Rana Wiarcha dalam sebuah pernyataan sikap asosiasinya, akhir Maret lalu.
Pemerintah langsung tanggap dengan kritik tersebut. Lewat Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, pada gilirannya diundanglah para arsitek yang mengkritik itu untuk menyampaikan aspirasinya di sebuah forum yang digagas Bappenas.
Beberapa organisasi yang menghadiri forum itu antara lain Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Green Building Council Indonesia (GBCI).
Di hadapan para arsitek, Suharso menyebut proses desain istana memang masih terus digodok dan belum final. “Saya berterima kasih sekali atas masukan dari rekan-rekan arsitek dan masyarakat luas. Kita pikirkan, bangunan burung garuda, secara arsitektur bagaimana atau secara security-nya. Kita bisa diskusikan,” kata Suharso.
Berkaca dari Negara Lain
Sebetulnya bukan hanya arsitek yang mengkritik pradesain istana negara baru. Sejak awal, justru secara keseluruhan masyarakat Indonesia telah memperdebatkan urgensi rencana pindah ibu kota.
Pada dasarnya, publik banyak meragukan ibu kota baru mulai dari pemilihan geografinya, dampaknya terhadap lingkungan, biaya dan waktunya, sampai potensi kegagalannya yang besar.
Bicara soal kegagalan, kita pun agaknya perlu kembali menengok negara lain yang pernah memindah ibu kotanya. Fakta menunjukkan, dari sejumlah 52 negara yang pernah pindah ibu kota, hanya ada 13 negara yang bisa dinilai berhasil.
Negara seperti Amerika Serikat, India, Jerman, dan Kanada adalah beberapa di antara yang berhasil. Sementara negara seperti Malaysia, Tanzania, Pantai Gading dinilai gagal. Ada pula pemindahan yang tidak dapat dinilai karena tidak ada data yang bisa dipakai untuk melakukan pembenaran seperti Albania, Ghana, Selandia Baru, dan lain-lain.