Scroll untuk baca artikel
Blog

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Pemilukada telah berlalu.  Calon yang dipromosikan oleh Kang Mat secara kebetulan menang telak.  Kang Mat pun sudah lupa dengan amplop dari Pak Camat.  Pagi itu sehabis menjemur karpet masjid, tiba-tiba saja Tono muncul di hadapannya.  Mukanya tampak berbinar-binar.

“Nanti malam Ustad saya mohon untuk dapat memimpin kenduri di rumah saya.  Alkhamdulilah saya bisa beli rumah Pak Ustad!” pinta Tono kepada Kang Mat sambil mengantar aneka panganan kepadanya.

“Rumah saya di ujung gang komplek sana itu,” ujar Tono memberi penjelasan sambil telunjuknya menunjuk arah yang dimaksud. 

“Acaradimulai bakda Isya Pak Ustad,” terang Tono sambil pamit pulang.  Tak lupa Tono mencium punggung telapak tangan Kang Mat.

Sehabis sholat isya, Kang Mat pun segera bergegas mendatangi undangan Tono.  Ketika sudah sampai di ujung gang yang dimaksud, lelaki itu terasa kikuk.  Batang hidung Tono tak terlihat menyambutnya.  Ia justru disambut oleh seorang perempuan yang sedemikian cantiknya.  Bukan kecantikan perempuan itu yang membuatnya kikuk tetapi tingkahnyalah yang telah membuatnya kikuk.  Bagaimana tidak kikuk, ketika ia hendak melangkah masuk ke dalam rumah, perempuan itu pun segera saja menggandengnya masuk.  Seumur-umur baru kali ini ia digandeng perempuan yang bukan muhrimnya.

“Mas Tono mana?” tanya Kang Mat ketika hendak memulai acara.  Pertanyaan Kang Mat justru dijawab dengan gelak tawa oleh semua yang hadir di rumah Tono tersebut.  Kang Mat benar-benar bingung dibuatnya.

“Lha yang duduk di samping Ustad itu!” ucap Pak RT sambil menunjuk perempuan cantik yang duduk tak jauh dari Kang mat.  Sekali lagi Kang Mat dibuat bingung.

“Benar Pak Ustadz!  Saya Tono.  Tapi kalau malam saya menjadi Tini,” ujar perempuan cantik tersebut tersipu-sipu malu.  Kontan saja jawaban perempuan yang mengaku sebagai Tono itu langsung disambut dengan gelak tawa yang hadir di rumah tersebut.  Kali ini Kang Mat bukan hanya terkejut tetapi juga bingung bahkan kepalanya mulai terasa pening. Berkali-kali lelaki itu tampak beristigfar ketika secara tak sengaja pandangan matanya menjangkau wajah Tini. 

Sepanjang memimpin kenduri malam itu pikirannya campur aduk tak karuan.  Lelaki itu membayangkan bagaimana jika Tini berjamaah di dalam barisan perempuan.  Tentu saja orang yang ada di kanan atau kirinya menjadi batal wudhunya dan tidak sah sholatnya.  Demikian juga yang secara tidak sengaja bersentuhan dengannya. 

Kang Mat pun membayangkan bagaimana hukumnya Tini yang sekaligus Tono ketika menggandeng atau mencium punggung tangannya tadi pagi. Mengingat semua itu, terus terang kepalanya semakin berat.  Sepulang dari kenduri, Kang mat langsung merebahkan dirinya.  Diabaikannya saja ajakan anak dan istrinya   untuk menikmati aneka panganan dari kenduri barusan.  Pikirannya melayang-layang kepada pesantren yang telah ditinggalkannya.  Tempat yang tidak hanya damai tetapi juga tak memusingkan.