Scroll untuk baca artikel
Blog

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Dawuh – Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Meski sudah berusaha Kang Mat lupakan, terus terang sosok Tono yang juga Tini tetap saja menghantui pikirannya.  Apalagi ketika  dilihatnya Tono yang sekaligus Tini datang berjamaah di masjid.  Belum selesai dengan Tono, lagi-lagi Kang Mat dipaksa untuk mengernyitkan dahinya kembali.  Pada suatu pagi ia mengajak beberapa pemuda  untuk membagikan zakat fitrah.  Beberapa kali ia memberi instruksi tentang siapa saja yang berhak menerima zakat.  Ketika sudah disiapkan tiba-tiba Sabri menyela.

“Apakah Pak Yo, Bu Sisca dan Mas Frans  tidak boleh menerima zakat Pak ustad?  Bukankah mereka bertiga juga tergolong orang miskin?” tanya Sabri ketika beras-beras itu mulai diangkut untuk dibagikan.

“Tidak berhak!  Pak Yo, Bu Sica dan Mas Frans  adalah orang-orang kafir!  Zakat hanya untuk kaum muslimin saja!” jawab Kang mat tegas.

“Tapi masak ya kita tega.  Mereka itu bahkan lebih miskin daripada Mak Jum janda termiskin di kampung ini,” jelas Sabri kembali sembari garuk-garuk kepala.

“Beras sebanyak ini kalau diambil 30 kilo saja untuk mereka, menurut saya tidak berarti apa-apa,” sanggah Sabri lagi.  Beberapa panitia terlihat juga mendukung usul Sabri tersebut. 

“Betul Pak Ustad!  Kita beri saja mereka masing-masing 10 kilo dan uang 200 ribu,” timpal Kodir sambil menunjuk tumpukan beras yang menggunung di teras masjid. 

“Islam itu khan rahmatan lil alamin Pak Ustad!” sambung Sabri serius.  Lagi-lagi Kang Mat pun tak tahu harus berkata apa lagi.  Meski tak setuju akhirnya iapun mengalah.  Seingatnya Kyai Jamil dulu mengajarkan bahwa zakat itu hanya untuk kaum muslimin saja.  Beras-beras itu dibagikan agar orang-orang Islam yang miskin itu juga dapat bergembira dalam merayakan hari raya. 

Dengan begitu orang kafir tidak berhak mendapatkan zakat fitrah.  Tapi ajaran itu sepertinya tak dapat dijalankan di sini.  Kang Mat tak tahu apakah Kyai Jamil yang salah dalam mengajar ataukah penangkapannya yang salah atau yang diajarkan Kyai Jamil yang justru salah.  Peningnya sekali lagi seperti menusuk-nusuk kepalanya.

Tak terasa ternyata Kang Mat sudah setengah hari berada di samping kuburan Kyai Jamil.  Lamunannya buyar seketika ketika sayup-sayup didengarnya adzan Dhuhur berkumandang.  Lelaki itu bangkit dari duduknya dengan perasaan yang masih berat.

“Bagaimana Kyai, apakah aku boleh pulang?” tanya Kang Mat lagi.  Ia tahu pusara kyai Jamil tak mungkin akan menjawabnya.  Dan sebelum ia meninggalkan pekuburan, sekali lagi ia masih sempat bertanya kepada pusara Kyai Jamil.