Perizinan yang Memihak Kekuasaan
Masalah pembentukan hukum dan undang-undang yang dilakukan secara senyap, diam-diam, dan jauh dari partisipasi publik, tak luput menjadi sorotan. Terbitnya UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan yang paling kontroversial UU Omnibus Cipta Kerja, dinilai telah menjauhkan masyarakat untuk ikut menentukan nasibnya.
Pemihakan dominan pada kekuasaan, termasuk konflik kepentingan dalam pembentukan hukum yang timnya terafiliasi dengan korporasi tertentu, justru menegaskan relasi kuasa dalam ekonomi politik. Debat riuh turunan Omnibus Law 2020 soal FABA yang dikeluarkan dari daftar limbah B3 belakangan, memperkuat argumen arah kebijakan negara kian abai dalam soal lingkungan dan dampak pelanggaran hak-hak asasi manusia.
“Kecenderungan arah kebijakan negara demikian telah masuk kepada apa yang disebut autocratic legalism (legalisme otokratis) oleh Corrales di tulisan jurnalnya 2015.” Kata Herlambang P Wiratman.
Itu ditandai dengan tiga hal, yakni: pertama, Undang-Undang dan peraturan dibentuk untuk melayani kuasa oligarki, terutama penggunaan representasi politik formal demokrasi, yang mengokohkan otoritarianisme dalam bentuk barunya. Kedua, substansinya sewenang-wenang, atau disebut kejahatan legislasi: tanpa partisipasi, manipulatif substansinya, orientasinya sebatas kepentingan kekuasaan. Dan Ketiga, Illegality yang diberi justifikasi/pembenarannya.
“Ini semua menegaskan menurunya demokrasi, memengaruhi kualitas legislasi, termasuk tekanan politiknya, sehingga melahirkan realitas penyingkiran hak-hak asasi manusia, dan kemunduran perlindungan lingkungan hidup,” pungkasnya. []