MENYIMAK “kemelut” di tubuh kepolisian RI terakhir, memaksa kita membuka-buka konsep “Democratic Policing” yang digagas mantan Kapolri Tito Karnavian. Ide democratic policing yang dituangkan Tito melalui buku “Democratic Policing” (2017), sepertinya adalah ide besar untuk mengisi muatan nilai bagi era kepolisian ideal yang seharusnya dimiliki sebuah negara demokratis.
Pada buku tersebut, Tito mengintrodusir paradigma pemolisian era demokrasi di Indonesia yang seharusnya bukan menjadi alat kekuasaan negara, tetapi untuk melindungi dan mengabdi pada masyarakat.
Hal itu dikarenakan polisi Indonesia tidak tumbuh melalui power negara, tetapi mempunyai akar kepolisian yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri.[1]
Selain itu, Tito juga menegaskan bahwa bentuk polisi dan pengawasan terhadap implementasi tugas dan fungsi pemolisian dapat ditentukan oleh masyarakat yang memiliki kapasitas besar dan kuat untuk melakukan hal tersebut.
Tetapi apa lacur, terkini aura publik terasa sesak, ketika ruang-ruang digital warga dipenuhi kabar seputar pembunuhan brigadir Joshua Hutabarat oleh Ferdi Sambo (FS), atasannya sendiri yang merupakan Kepala Div Propam Polri. Pembunuhan Brigadir Joshua seolah membuka kotak Pandora serentetan kontroversi sepak terjang Satgassus MP.
Kebetulan FS adalah juga ketua Satgassus tersebut. Pembunuhan Joshua Hutabarat dan kontroversi Satgassus MP membuat idialita “Democratic Policing” bak rebah terhempas seketika.
Banyak pihak menuding, rame-rame di tubuh Polri saat ini bermula sejak Tito menjabat Kapolri ketika dia membentuk Satgassus Merah Putih (Satgassus MP) Polri yang dipandang kontroversial.
Sebuah diskusi publik yang diadakan Marwan Batubara dkk dengan pembicara Anthony Budiawan, Ubedillah Badrun, Irma Hutabarat dan Abraham Samad kemarin (30/11), blak-blakan memaparkan kerusakan dan kerugian negara yang diakibatkan oleh sepak terjang Satgassus MP.[2]
Lembaga tersebut dicurigai dan diminta untuk diaudit oleh BPK dan auditor Independen atas serangkaian kasus minor : Kasus suap tambang ilegal di Kaltim (Ismail Bolong), transaksi judi online Rp155 triliun dan aliran dananya ke banyak pihak, dana misterius hampir Rp100 triliun di rekening bank alm Joshua Hutabarat, kejahatan HAM Km.50, dan penangkapan aktivis demokrasi (Marwan Batubara,30/11).
Diskusi tersebut juga mengungkapkan betapa negara telah dirugikan secara masif oleh ulah tambang ilegal di seluruh Indonesia. Disebutkan, tercatat ada 2700 tambang ilegal yang terdiri dari 2600 tambang mineral, dan 100 tambang ilegal batubara.
Anthony Budiawan menyebutkan dua jenis kerugian yang dialami, yakni kerugian ekonomi terkait PDB dan kerugian negara yang berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan bukan pajak yang mencapai Rp200 – Rp320 triliun. Abraham Samad bahkan menyebut sekitar 50% tambang yang ada di Indonesia adalah tambang ilegal.
Rangkaian opini dan fakta di atas, agaknya memunculkan pertanyaan, apakah “gegeran” yang terjadi di tubuh Polri saat ini adalah akibat dari belum berhasilnya reformasi Polri yang menuntut perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur lembaga kepolisian RI?
Padahal, salah satu maksud dari dikenalkannya konsep democratic policing oleh Tito Karnavian justru karena kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dinilai sangat menurun? Apakah benar, reformasi Polri jadi keblasuk mendapat musibah besar karena Tito kadung membentuk lembaga Satgassus MP?
Sebetulnya UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI amat menguntungkan Polri. Berkah reformasi 1998 yang diperjuangkan oleh para aktivis pergerakan ikut menjadi hikmah terbuka bagi kepolisian yang kemudian diizinkan menjadi badan otonom terpisah dari TNI. Pertanggungjawaban Polri sendiri langsung di bawah Presiden RI.