Scroll untuk baca artikel
Blog

Democratic Policing, Regresi Demokrasi dan Reformasi Polri

Redaksi
×

Democratic Policing, Regresi Demokrasi dan Reformasi Polri

Sebarkan artikel ini

Dengan modal itu, seharusnya lembaga kepolisian mempunyai peluang besar untuk memperbaiki citra polisi di tengah masyarakat, membentuk sistem, struktur dan kultur Polri yang disesuaikan dengan tuntutan reformasi yang menginginkan pembentukan negara demokratis, serta polisi yang memperhatikan HAM, hak ekonomi dan sosial masyarakat serta penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi.

Sayangnya, kesempatan emas tersebut agaknya belum berhasil dimanfaatkan dengan baik. Sebelum kasus FS dan Satgassus MP meletup, lembaga kepolisian bahkan dianggap ikut andil dalam proses kemunduran demokrasi di Indonesia dengan menjadi alat ampuh bagi kekuasaan dalam serangkaian kebijakan guna meredam suara-suara kritis publik.[3]

UU ITE dan penggunaan pasal-pasal karet menjadi sarana jitu yang digunakan dalam kasus pemidanaan para pegiat kritis dan warga yang berseberangan dengan kekuasaan di ruang-ruang digital.[4]

LP3ES sendiri mencatat adanya peningkatan angka kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktivis dengan menggunakan pasal-pasal karet bagi mereka yang bersuara kritis dan dianggap menyebarkan berita hoax selama kurun waktu 2013-2020.[5]

Angka pemidanaan diketahui melonjak tinggi menjadi 83 kasus pada 2016, 56 kasus pada 2017, dan 84 kasus selama 2020. Hal tersebut terkait munculnya suara-suara kritis warga ketika menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah semasa Presiden Jokowi memulai kabinetnya, dan kasus-kasus penolakan mahasiswa dan warga pada aksi menolak RUU KUHP dan UU Omnibus Law. 

Sementara LBH Jakarta masih mempersoalkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “berita bohong/hoax” dan klausul “menyebabkan keonaran di masyarakat” pada Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, karena definisinya dianggap belum jelas.

Jadi agaknya ironis, cita ideal democratic policing yang digaungkan Tito Karnavian mengalami stagnasi akibat ketidakmampuan mematuhi apa yang telah dicanangkan bagi penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi. Pembentukan Satgassus MP oleh Tito seolah mendegrasi sendiri konsep democratic policing karena realitas di lapangan kemudian, berkembang menjadi amat jauh berbeda antara konsep dengan kenyataan.

Belum lagi sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sementara petinggi Kepolisian yang sempat meramaikan jagad pemberitaan.[6]

Betapa pameran kemewahan dilihat publik telah dipraktikkan dengan pemakaian busana dan aksesoris pribadi yang kontan mendapat komentar warganet, plus pengungkapan harga-harga dari busana dan aksesoris yang dikenakan yang terbilang “Wah..”.

Ferdi Sambo sendiri diketahui bergaya hidup mewah. Memiliki 3 rumah pribadi dan 5 mobil mewah, serta dari hasil pemeriksaan Bharada E oleh eks lawyernya Deolipa Yumara, FS berani menjanjikan akan memberikan “hadiah” berupa uang Rp1 miliar kepada Bharada E, Ricky Rp 500 juta, dan Kuat Rp 500 juta, total Rp2 miliar.[7]

Tak pelak, timbul pertanyaan masyarakat, dengan besaran gaji FS yang bisa dilihat di medsos, sebetulnya darimana harta berlimpah itu didapat? Jangan-jangan, itu terkait dengan model “upeti” ala skandal Ismail Bolong?

Warga masyarakatpun, setelah munculnya kasus-kasus terakhir, ikut meramaikan jagad maya dengan serentak memposting aneka kasus “miring” yang dilakukan anggota Polri di berbagai daerah. Menjadikan semakin jauhnya cita-cita dan image bagi reformasi Polri paska Reformasi 1998. Sesuatu yang amat disayangkan.

Siapa yang Bertanggungjawab?

Sebagai Kepala Negara yang langsung membawahi institusi Kepolisian RI, tentu saja Presiden adalah figur paling bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di tubuh Polri selain dari Kapolri sendiri.