Anthony Budiawan menyebutkan dua jenis kerugian yang dialami, yakni kerugian ekonomi terkait PDB dan kerugian negara yang berasal dari pendapatan pajak dan pendapatan bukan pajak yang mencapai Rp200 – Rp320 triliun. Abraham Samad bahkan menyebut sekitar 50% tambang yang ada di Indonesia adalah tambang ilegal.
Rangkaian opini dan fakta di atas, agaknya memunculkan pertanyaan, apakah “gegeran” yang terjadi di tubuh Polri saat ini adalah akibat dari belum berhasilnya reformasi Polri yang menuntut perubahan di tingkat sistem, struktur dan kultur lembaga kepolisian RI?
Padahal, salah satu maksud dari dikenalkannya konsep democratic policing oleh Tito Karnavian justru karena kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dinilai sangat menurun? Apakah benar, reformasi Polri jadi keblasuk mendapat musibah besar karena Tito kadung membentuk lembaga Satgassus MP?
Sebetulnya UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian RI amat menguntungkan Polri. Berkah reformasi 1998 yang diperjuangkan oleh para aktivis pergerakan ikut menjadi hikmah terbuka bagi kepolisian yang kemudian diizinkan menjadi badan otonom terpisah dari TNI. Pertanggungjawaban Polri sendiri langsung di bawah Presiden RI.
Dengan modal itu, seharusnya lembaga kepolisian mempunyai peluang besar untuk memperbaiki citra polisi di tengah masyarakat, membentuk sistem, struktur dan kultur Polri yang disesuaikan dengan tuntutan reformasi yang menginginkan pembentukan negara demokratis, serta polisi yang memperhatikan HAM, hak ekonomi dan sosial masyarakat serta penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi.
Sayangnya, kesempatan emas tersebut agaknya belum berhasil dimanfaatkan dengan baik. Sebelum kasus FS dan Satgassus MP meletup, lembaga kepolisian bahkan dianggap ikut andil dalam proses kemunduran demokrasi di Indonesia dengan menjadi alat ampuh bagi kekuasaan dalam serangkaian kebijakan guna meredam suara-suara kritis publik.[3]
UU ITE dan penggunaan pasal-pasal karet menjadi sarana jitu yang digunakan dalam kasus pemidanaan para pegiat kritis dan warga yang berseberangan dengan kekuasaan di ruang-ruang digital.[4]
LP3ES sendiri mencatat adanya peningkatan angka kriminalisasi warga negara, jurnalis dan aktivis dengan menggunakan pasal-pasal karet bagi mereka yang bersuara kritis dan dianggap menyebarkan berita hoax selama kurun waktu 2013-2020.[5]
Angka pemidanaan diketahui melonjak tinggi menjadi 83 kasus pada 2016, 56 kasus pada 2017, dan 84 kasus selama 2020. Hal tersebut terkait munculnya suara-suara kritis warga ketika menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah semasa Presiden Jokowi memulai kabinetnya, dan kasus-kasus penolakan mahasiswa dan warga pada aksi menolak RUU KUHP dan UU Omnibus Law.