Scroll untuk baca artikel
Blog

Democratic Policing, Regresi Demokrasi dan Reformasi Polri

Redaksi
×

Democratic Policing, Regresi Demokrasi dan Reformasi Polri

Sebarkan artikel ini

Sementara LBH Jakarta masih mempersoalkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan “berita bohong/hoax” dan klausul “menyebabkan keonaran di masyarakat” pada Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, karena definisinya dianggap belum jelas.

Jadi agaknya ironis, cita ideal democratic policing yang digaungkan Tito Karnavian mengalami stagnasi akibat ketidakmampuan mematuhi apa yang telah dicanangkan bagi penghormatan terhadap civil society sebagai paradigma baru pemolisian di alam demokrasi. Pembentukan Satgassus MP oleh Tito seolah mendegrasi sendiri konsep democratic policing karena realitas di lapangan kemudian, berkembang menjadi amat jauh berbeda antara konsep dengan kenyataan.

Belum lagi sorotan publik terhadap gaya hidup mewah sementara petinggi Kepolisian yang sempat meramaikan jagad pemberitaan.[6]

Betapa pameran kemewahan dilihat publik telah dipraktikkan dengan pemakaian busana dan aksesoris pribadi yang kontan mendapat komentar warganet, plus pengungkapan harga-harga dari busana dan aksesoris yang dikenakan yang terbilang “Wah..”.

Ferdi Sambo sendiri diketahui bergaya hidup mewah. Memiliki 3 rumah pribadi dan 5 mobil mewah, serta dari hasil pemeriksaan Bharada E oleh eks lawyernya Deolipa Yumara, FS berani menjanjikan akan memberikan “hadiah” berupa uang Rp1 miliar kepada Bharada E, Ricky Rp 500 juta, dan Kuat Rp 500 juta, total Rp2 miliar.[7]

Tak pelak, timbul pertanyaan masyarakat, dengan besaran gaji FS yang bisa dilihat di medsos, sebetulnya darimana harta berlimpah itu didapat? Jangan-jangan, itu terkait dengan model “upeti” ala skandal Ismail Bolong?

Warga masyarakatpun, setelah munculnya kasus-kasus terakhir, ikut meramaikan jagad maya dengan serentak memposting aneka kasus “miring” yang dilakukan anggota Polri di berbagai daerah. Menjadikan semakin jauhnya cita-cita dan image bagi reformasi Polri paska Reformasi 1998. Sesuatu yang amat disayangkan.

Siapa yang Bertanggungjawab?

Sebagai Kepala Negara yang langsung membawahi institusi Kepolisian RI, tentu saja Presiden adalah figur paling bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di tubuh Polri selain dari Kapolri sendiri.

Presiden, berhak meminta pertanggungjawaban Kapolri terkait pelaksanaan tugas Kepolisian RI (Pasal 8 ayat 2 UU No 2/2002). Untuk itu, kembali muncul pertanyaan di benak publik – sebagaimana disuarakan juga oleh Marwan Batubara dkk pada diskusi kemarin – apakah Presiden Jokowi selaku kepala negara dan pimpinan yang langsung membawahi Polri juga mengetahui sepak terjang Satgassus MP? Ke mana fungsi pengawasan presiden? Apakah pembentukan Satgassus MP telah diketahui dan seizin Presiden?[8]