Bagaimanapun juga dalam situasi yang serba sulit kran demokrasi harus dibuka selebar-lebarnya. Membangun kepercayaan kepada bangsa lain dan publik, tidak hanya menonjolkan pembangunan fisik infrastruktur dan suprastruktur semata.
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara implisit ini telah tersirat, bahwa mengubah hak dan kewajiban warga negara, seakan melukai dan mencederai kedaulatan serta makna demokrasi.
Tentu urusan endemi, yang terkesan hanya pembenaran istilah dari pandemi, bukanlah alasan untuk jadi pertimbangan atau wacana penundaan pemilu. Karena dalam situasi seperti ini akan menjadi presisi negatif untuk membangun kerangka demokrasi. Endemi dan pemilu, dalam nalar sehat tidak akan menjadi titik temu. Tetapi bisa jadi pemilu akan selalu diwarnai dengan kondisi endemi.
Perubahan demokrasi, mungkin lebih mendekati dengan situasi perubahan-perubahan sosial yang melahirkan peradaban yang berbeda. Dimana saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan derasnya pertumbuhan sosial.
Situasi perubahan ini, yang mungkin membuat kita tidak begitu siap untuk menghadapinya. Sehingga realita endemi dijadikan tumbal untuk menggagas penundaan pemilu, meski pengelakan ini bukan karena situasi endemi yang terjadi.
Kita mungkin hanya bisa berharap akan terjadi sebuah keajaiban, pemilu tidak akan melahirkan produk demokrasi yang gagal. Tentu dengan kepedulian seluruh elemen bangsa ini.