Scroll untuk baca artikel
Opini

Demokrasi Antara Endemi dan Pemilu

Redaksi
×

Demokrasi Antara Endemi dan Pemilu

Sebarkan artikel ini

Realita endemi dijadikan tumbal untuk menggagas penundaan pemilu, meski pengelakan ini bukan karena situasi endemi yang terjadi.   

BENARKAH kita dalam posisi kemunduran demokrasi di titik rendah? Apakah sangat urgen untuk menunda pemilu? Bergulirnya isu yang dihembuskan seakan-akan menjadi konsumsi bola liar dalam menggiring opini publik.

Bisa jadi karena dalam kurun 2 tahun terakhir, kondisi pandemi yang berkepanjangan mengakibatkan iklim demokrasi menjadi stagnan. Kran demokrasi seakan menjadi buntu dan semua orang terfokus pada pemulihan ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Dalam beberapa opini, silang pendapat yang mengatakan dengan adanya penundaan pemilu bisa dianggap sebagi cermin terhadap krisis demokrasi. Tetapi realita ini, sungguh masih jauh dari kalkulasi politik yang terkesan tergesa-gesa dan tanpa hitungan matematis.

Pelaksanaan pemilu masih 2 (dua) tahun pada tahun 2024. Artinya, masih cukup waktu untuk melaksanakannya sesuai jadwal tahapan yang telah diajukan oleh KPU dan dengan kesepakatan bersama secara tertulis bersama Mendagri, Bawaslu dan DPR.

Dalam framing (bingkai) masyarakat, kondisi pandemi yang berkepanjangan serta pemulihan ekonomi yang masih jauh di bawah harapan, sehingga tampaknya pendukung pemerintah mulai melakukan overlapping (tumpang tindih) dalam peta kebijakan. Tentu hal ini cukup mudah melalui kebijakan-kebijakan politik yang sebetulnya sangat tidak populis. Sangat terkesan dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan rakyat, meski ini blunder.

Pandemi yang kemudian menjadi seperti power syndrome (kondisi dalam bayang-bayang kekuasaan) dampaknya sangat buruk bagi perkembangan dinamika politik. Pada ruang ini, control of power tidak berjalan secara normal. Muara dari paradigma ini memunculkan bentuk-bentuk kapitalis baru dimana tidak berimbangnya kekuatan oposisi dan pendukung pemerintah.

Maka kemudian munculnya kebijakan-kebijakan yang lebih menawarkan pada kekuatan pendukung, karena kekuatan pendukung cukup mayoritas sehingga kekuatan opisisi hanya bisa bertepuk sebelah tangan.

Jika kita mengacu pada peraturan normatif, dimana wacana penundaan pemilu atau juga perubahan masa jabatan presiden, maka ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi. Antara lain, Amandemen UUD 1945, keluarnya Dekrit Presiden, dan diadakan Konvensi Ketatanegaraan, dimana perubahan tidak hanya dilakukan  pada teks UUD 1945, tetapi juga dalam praktik penyelenggaraan negara. Kemudian, tentunya  pemerintah harus segera menyiapkan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Hal-hal yang sifatnya berlaku normatif, tentu akan menjadi pertimbangan dan konsekuensi logis pemerintah dalam menciptakan kestabilan politik. Kita tidak mungkin beralibi dengan sebuah opini liar, yang justru mempersempit ruang gerak demokrasi.

Bagaimanapun juga dalam situasi yang serba sulit kran demokrasi harus dibuka selebar-lebarnya. Membangun kepercayaan kepada bangsa lain dan publik, tidak hanya menonjolkan pembangunan fisik infrastruktur dan suprastruktur semata.

Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Secara implisit ini telah tersirat, bahwa mengubah hak dan kewajiban warga negara, seakan melukai dan mencederai kedaulatan serta makna demokrasi.

Tentu urusan endemi, yang terkesan hanya pembenaran istilah dari pandemi, bukanlah alasan untuk jadi pertimbangan atau wacana penundaan pemilu. Karena dalam situasi seperti ini akan menjadi presisi negatif untuk membangun kerangka demokrasi. Endemi dan pemilu, dalam nalar sehat tidak akan menjadi titik temu. Tetapi bisa jadi pemilu akan selalu diwarnai dengan kondisi endemi.