Scroll untuk baca artikel
Terkini

Demokrasi Brutal Ala Jokowi, Ubedilah Badrun: Ada 5 Ciri

Redaksi
×

Demokrasi Brutal Ala Jokowi, Ubedilah Badrun: Ada 5 Ciri

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kelompok Belajar Anak Muda (KBAM-JATIM) menyelenggarakan diskusi online dalam program Visi Indonesia Baru yang tayang di kanal Youtube Brvos Radio Indonesia. Aktivis dan Dosen Politik Ubedilah Badrun mengatakan demokrasi brutal itu adalah satu rezim pemerintah yang bersembunyi di balik demokrasi prosedural.

“Jadi demokrasi hanya menjadi topeng dengan melakukan tindakan brutal pada rakyatnya dan menghalalkan segala cara demi kepentingan-kepentingan kekuasaan, sambungnya dalam diskusi online dengan tema Demokrasi Brutal Ala Jokowi, Sabtu (25/9/2021).

Menurut Ubedilah, jadi memang ada brutalisme di situ, suatu tindakan yang semena-mena, seenaknya sendiri.

“Ada lima ciri demokrasi brutal,” terangnya

Pertama, crito politica di bawah kendali penguasa. Baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif di bawah kendali kekuasaan yakni penguasa tunggal. Penguasa tunggal ini sesungguhnya tidak satu, dia bisa berkelompok, maupun berkoloni.

“Mereka sekongkol oligarki politik dan oligarki predator di bidang ekonomi dan mereka membeli politik baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif,” terangnya.

Pengantar Diskusi Online; Demokrasi Brutal Ala Jokowi ditengarai dalam satu bulan akhir-akhir ini, di bawah pemerintahan presiden Jokowi sering menggunakan Aparat Negara sebagai alat untuk merepresikan mahasiswa. September sebagai peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia, untuk itu kita sering melihat beragam agenda-agenda organisasi mahasiswa/pemuda, petani dan Buruh.

Selanjutnya dalam perjalanan pemerintahan rekayasa keputusan-keputusan dan hukum lalu teror-teror propaganda. Sistem semacam ini menggemakan satu propaganda yang diulang, dibolak-balik hingga tertanam dalam bahasa yang dikuasai; tunduklah pada keamanan hari ini maka keadilan masa depan menjadi milik Anda.

Ubedilah melanjutkan, Kedua,  senang sekali membuat aturan demi kepentingan kelompoknya. Yakni aturan-aturan yang melindungi kaum borjuasi, kaum oligarki dalam bisnis APBN maka KPK dilemahkan.

Ketiga, tidak peduli dengan kematian rakyat  meski dalam kategori pelanggaran berat hak asasi manusia. Pemerintah tidak responsif, dan tidak sensitif dengan derita rakyat. Seperti contohnya Kasus 2 kematian mahasiswa pada tahun 2019 di Kendari.

Keempat, senang membungkam aspirasi rakyat melalui berbagai cara. Pembungkaman demi pembungkaman terjadi.

Ubedilah mecontohkan, misalnya dalam soal mural saja takut, dicari pelukis atau pembuatnya diburu seperti penjahat. Itu dalam rangka membungkam agar kritik-kritik kritis dari rakyat dihentikan. Begitu juga kanal-kanal digital  yang membuat ruang publik digital, dengan menggunakan Undang-Undang ITE menjerat para pengkritik warga negara yang sadar politik untuk dijerat di pasal karet dalam UU ITE.

“Itulah cara-cara baru pembungkaman yang tafsirnya sesuai dengan tafsir kekuasaan. Itu terjadi pada rezim ini,” imbuhnya.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta ini melanjutkan, kelima, korupsi merajalela. Inilah demokrasi brutal, mereka sembunyi dengan wajah demokrasi prosedural. Misalnya sebanyak 82 persen kursi DPR dikuasai penguasa, makanya DPR hanya menjadi stempel pemerintah dan bisa seenaknya mengesahkan Undang-Undang , UU KPK, UU Minerba yang pro oligarki, UU Omnibus Law yang pro oligarki.

“Ini menunjukkan kebrutalan legislasi,” tegas Ubedilah. [Luk]