DALAM beberapa tahun terakhir, tepatnya pasca runtuhnya rezim otoritarianisme Orde Baru Soeharto, Indonesia memasuki gelombang demokratisasi. Demokrasi yang berlangsung di Indonesia pasca Soeharto ditandai dengan menjamurnya partai politik, pers, LSM dan desentralisasi otonomi daerah.
Di lain sisi, perlindungan bagi kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul serta berdemonstrasi semakin memperoleh perlindungan hukum.
Tumpuan demokrasi ada pada penegakkan nilai-nilai demokrasi sekaligus pada pilar-pilar demokrasi. Artinya yang saya maksudkan ialah, apabila tumpuan dan pilar-pilar demokrasi itu dirusak, dikooptasi, dibungkam dan dibatasi hak dan kebebasannya maka demokrasi mengalami stagnasi dan terancam regresi.
Sebab, demokrasi memerlukan adanya sikap musyawarah dan mufakat serta menjunjung tinggi adanya perbedaan serta pengakuan hak dan martabat manusia lain. Karena itu, dibutuhkan sikap konsistensi dan ketegasan elemen bangsa dalam menjaga dan merawat demokrasi.
Tulisan ini berusaha menyanggah dan mempersoalkan artikel yang ditulis oleh saudara Lalik Kongkar (selanjutnya disingkat LK) yang dimuat oleh media Barisan.co pada tanggal 28 Desember 2021 dengan judul ‘Peran Negara dalam Penguatan Demokrasi’.
Bagi saya, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dikritisi dari gagasan LK dalam artikel itu yang lebih menitikberatkan pada peran negara sebagai aktor utama merawat dan memperkuat demokrasi.
Secara teoritis, saya sependapat dengan LK bahwa, negara memiliki peran fundamental dalam merawat demokrasi. LK dalam paragraf ke-3 menulis begini, “persoalan demokrasi di Indonesia hingga saat ini masih cukup rumit dan kompleks karena belum tumbuhnya budaya demokrasi yang kuat.
Lembaga-lembaga politik belum stabil, adanya pelemahan masyarakat sipil, masih menguatnya oligarki, ketimpangan pendapatan, dan munculnya persoalan-persoalan mutakhir karena manuver aktor-aktor politik oportunis”.
Jika merujuk pada apa yang dijelaskan LK diatas, kita menemukan bahwa persoalan demokrasi Indonesia tidak bisa dilepas-pisahkan dari peran dan intervensi negara dalam merawat sekaligus melemahkan demokrasi.
Bagi saya, LK gagal melihat dan mengkritisi dengan sangat jernih bagaimana negara beroperasi dan ikut melemahkan serta menggembosi prosedur dan nilai-nilai demokrasi. Misalnya, penghapusan mural, revisi UU KPK, Pengesahan UU Omnibus Law, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan pembungkaman aktivis anti korupsi dan aktivis lingkungan.
Beberapa catatan menunjukan dengan jelas bagaimana negara sebetulnya gagal merawat dan mempertahankan penegakkan nilai-nilai demokrasi. Praktik korupsi yang terus menguat di beberapa lembaga dan institusi negara menunjukan dan memberitahu kepada kita bahwa negara kurang serius dalam upaya pemberantasan korupsi.
Bahkan, pengesahan UU Omnibus Law yang sangat kontroversial itu disahkan terburu-buru tanpa melibatkan partisipasi publik yang luas. Bagi saya, ini menunjukan dengan sangat jelas bagaimana negara turut serta mempreteli dan melemahkan demokrasi.
Disinilah menurut saya, saudara LK gagal mengkritisi dan membaca dengan jujur kondisi demokrasi di Indonesia hari ini. LK seolah-olah merasa sangat yakin bahwa penguatan demokrasi dan penegakkan nilai-nilai demokrasi bergantung pada negara. ‘
Tidak hanya itu, dalam artikelnya saudara LK menurut saya kehilangan sikap kritis dalam membongkar peran negara yang turut serta melemahkan demokrasi.
Menurut saya, LK tidak tampak dalam memajukan argumennya bahwa kualitas demokrasi hari ini sedang mengalami ancaman regresi yang tidak lain dipengaruhi oleh dominasi negara yang turut melemahkan demokrasi.