Scroll untuk baca artikel
Terkini

Demokrasi di Indonesia Kurang Memihak Aspek Ekologi

Redaksi
×

Demokrasi di Indonesia Kurang Memihak Aspek Ekologi

Sebarkan artikel ini

Kemanusiaan adalah mahkota peradaban. Namun ide humanisme juga akhirnya dikritik karena dianggap kurang pemihakan terhadap aspek ekologi

BARISAN.CO – Founding father Indonesia sejak awal mempunyai komitmen besar terhadap demokrasi kerakyatan yang diwakilli oleh sila ke empat Pancasila. Tapi kemudian demokrasi di Indonesia juga mengalami pasang surut mulai era demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi era orde baru dan demokrasi era reformasi saat ini.

Hal ini disampaikan Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Sunaryo pada acara Diskusi Publik Universitas Paramadina dengan tema Demokasi Indonesia Tanpa Humanisme, Selasa (1/11/2022).

Sunaryo mengatakan demokrasi di alam reformasi menemukan format kebebasan dengan diizinkannya multi partai, kebebasan bersuara dan berserikat, dan lain-lain.

“Namun juga hadir aneka respon dan perilaku masyarakat-individu mulai dari hal baik sampai yang kasar, rendahan, dan nir etika seperti perilaku komunikasi di media sosial terkini,” imbuhnya.

Untuk itu, menurut Sunaryo memang dibutuhkan tata aturan yang disepakati oleh semua pihak untuk tetap mengedepankan etika di ruang-ruang publik, dan hukuman bagi yang melontarkan hate speech keterlaluan.

Seperti yang diterapkan di negara-negara maju. Indonesia perlu kesadaran semua pihak untuk membangun kesadaran beretika di alam demokrasi. itu yang masih absen.

“Kemanusiaan adalah mahkota peradaban. Namun ide humanisme juga akhirnya dikritik karena dianggap kurang pemihakan terhadap aspek ekologi. Sejarah humanisme abad pertengahan pada manusia sebagai sentrum, dan teosentrisme sebagai pusat kebenaran juga dikritik. Terkait tafsir yang pasti dipahami secara keliru dan berbeda-beda,” terangnya.

Menurut Sunaryo kita cenderung fokus pada aspek prosedural dalam demokrasi. Hanya pada pelaksanaan pemilu dan parlemen di DPR tetapi kurang pada aspek demokrasi yang lebih substansial.

“Tetapi juga kita memihak Amartya Sen, yang menyatakan Asian Valuesmya Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad yang belum tentu cocok di belahan lain Asia,” jelasnya.

Sementara, Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan, Jaya Suprana mengatakan kemanusiaan memang mahkota peradaban. Apapun yang dilakukan manusia, jika tidak berorientasi pada kemanusiaan maka tidak akan jadi baik pada hasinya.

“Pasti berujung destruktif jika tidak dipayungi oleh kemanusiaan. Baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan agama. Agama bahkan pernah dimanfaatkan bukan untuk kemanusiaan,” sambungnya.

Jaya Suprana menyampaikan cara manusia memahkotakan kemanusiaan adalah seperti yang diajarkan oleh Cak Nun, bahwa satu di antara kearifan Islam yang dikagumi adalah : Jihad al Nafs.

“Jihad atau peperangan melawan hawa nafsu. Diangkat dari kisah peperangan Uhud, ketika Nabi Muhammad memberikan nasehat kepada pasukan muslim, agar jangan lengah dan perang yang paling besar (Akbar) adalah perang melawan hawa nafsu,” jelasnya.

Jaya Suprana mencotohkan salah satu tragedi kemanusiaan di Jakarta adalah ketika terjadi penggusuran terhadap warga Bukti Duri pada 28 September 2016.

“Di situ nampak bahwa bagi mereka yang miskin, maka pasti tidak bisa melawan. Berbeda ketika rencana penggusuran terjadi pada kaum yang berpunya. Di situlah sebetulnya ujian bagi Kemanusiaan kita. Termasuk ketika melakukan kebencian, penghinaan dan fitnah,” jelasnya.

Demokrasi, agama. hukum, ekonomi, politik tidak berada pada posisi yang salah. Yang salah adalah manusianya yang kehilangan Kemanusiaan. Sesungguhnya Kemanusiaan itu build in dalam Demokrasi dan Demokrasi build in dalam Kemanusiaan.

Jihad melawan nafsu bisa berbentuk peradaban yang luar biasa indah. Karena estetika itu juga hal yang tidak kalah penting. Jihad al nafs juga untuk membentuk peradaban, bukan hanya untuk membangun demokrasi.