BARISAN.CO – Gugus Tugas (Desk) Anti Islamophobia Pimpinan Pusat Syarikat Islam (PP SI) mengirim surat resmi bertanggal 21 Dzulqa’idah 1443 H atau 21 Juni 2022 Masehi yang di tujukan kepada Presiden Republik Joko Widodo perihal pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti atau abolisi kepada aktivis Islam yang saat ini berada dalam tahanan yang di nilai sebagai narapidana politik (Napol) yang di duga ada unsur Islamphobia di dalamnya termasuk kepada Habib Riziek Syihab (HRS), Munarman dll.
Dalam suratnya desk Anti Islamophobia menuliskan, bahwa Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyetujui resolusi yang menciptakan tanggal 15 Maret sebagai Hari Anti Islamophobia Internasional.
Resolusi tersebut menentang segala bentuk prasangka, diskriminasi, ketakutan, ujaran kebencian terhadap Islam dan kaum muslim. Oleh karena itu, scgala perilaku Islamophobia harus dihapuskan karena selain bertentangan dengan komitmen masyarakat Internasional juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban modern.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, maka perilaku lslamophobia bukan hanya dapat menggangu harmoni dan kerukunan antarumat beragama, tetapi juga dapat mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa sebagai modal utama dalam mewujudkan pembangunan nasional scbagaimana yang diamanahkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah kami mencermati dan mengkaji secara seksama, persoalan Islamophobia di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama sudah memasuki tahap yang sangat mengkhawatirkan dan dapat mengganggu sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
Diantara kasus yang mengandung unsur Islamophobia yang sangat kental adalah seperti yang menimpa beberapa tokoh-tokoh Islam, khususnya kasus terhadap Habib Rizieq Shihab, Munarman dan aktivis Islam lainnya bunyi surat yg ditanda tangani Dr. Ferry Juliantono dan Yudi Irsyadi, SE, Ketua dan Sekretaris Gugus Tugas (Desk) Anti Islamophobia Syarikat Islam (SI) dalam keterangannya pada redaksi di Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Menurut Ferry, walaupun kasus tersebut telah melalui proses peradilan menurut hukum Indonesia, tetapi kesemua kasus yang menimpa tokoh-tokoh Islam tersebut menurut kami sangat bernuansa Islamophobia, sarat dengan diskriminasi dan berlatar subyektivitas kepada mereka sebagai tokoh Islam.
Terhadap kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq Shihab yang telah berkekuatan hukum tetap, bukanlah sebagai kasus yang dikategorikan scbagai tindak pidana kejahatan, melainkan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap protokol kesehatan COVID-19.
Namun hanya terhadap Habib Rizieq Shihab yang dalam proses pcnegakan hukumnya dilakukan secara keras berdasarkan tekanan publik yang didasarkan kebencian kepada sosok Habib Rizieq Shihab sebagai tokoh Islam yang gigih memperjuangkan amar ma’ruf nahimunkar serta melakukan pembelaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam, sebut Ferry.
Kedua lanjut Ferry, begitu juga terhadap kasus yang menimpa Munarman yang divonis bersalah karena melanggar ketentuan Pasal 13C Perppu Nomor I Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketentuan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut mengatur tindak pidana menyembunyikan informasi terkait terorisme.
Munarman dalam kegiatan yang dijadikan dasar oleh hakim dalam menjatuhkan vonis tidak terbukti ikut berbaiat maupun juga melakukan tindak terorisme lainnya.
“Dari sejak awal proses hukum terhadap Munarman sangat kental rekayasa penuh dengan tekanan publik yang didasarkan pada kebencian yang dikarenakan sosok Munarman sebagai tokoh Islam yang gigih memperjuangkan amar ma ‘ruf nahi munkar serta melakukan pembelaan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan umat Islam. Terakhir terhadap aktivis Islam lainnya yang tersangkut masalah hukum terkait UU ITE. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional terikat”, tegas Ferry.