Dia menyuarakan, sekarang ini momentum yang tepat untuk berbenah diri untuk menciptakan kondisi sepak bola Indonesia yang baik.
BARISAN.CO – Awal Oktober ini, dunia sepak bola berduka. Orang-orang yang datang ke Stadion Kanjuruhan untuk menonton pertandingan langsung antara Arema FC vs Persebaya Surabaya menjadi korban tragedi memilukan.
Berdasarkan data resmi pemerintah, jumlah korban tragedi Kanjuruhan 132 orang meninggal dunia.
Dewan Pembina Persatuan Streetsoccer Indonesia (Persocci) DKI Jakarta, Hartono menyampaikan, agar semua stakeholders sepak bola Indonesia menjadikan momentum ini sebagai sarana intropeksi.
Stakeholders yang dimaksud Hartono adalah tiga, yakni aparat keamanan, suporter, dan pihak penyelenggara pertandingan.
Sesuai aturan FIFA pasal 19 huruf B disebutkan, dilarang membawa senjata api dan gas pengontrol massa untuk menertibkan massa. Hartono menyebut, itu dilakukan karena pengalaman masa lalu di Lima, Peru tahun 1964 dan Accra, Ghana tahun 2001.
“Penggunaan gas air mata dalam pertandingan sepak bola tidak boleh disamakan untuk menangani, misalnya demo di luar yang udaranya terbuka. Orang kalau mau lari tidak perlu berdesak-desakkan atau saling sikut,” kata pengamat sepak bola bola ini dalam Mimbar Virtual, “Refleksi Tragedi Kanjuruhan” pada Rabu (12/10/2022).
Menurutnya, terutama pintu di stadion terbatas dan biasanya pintu masuk ke tribunnya tidak terlalu besar. Sehingga, tidak cukup menampung massa yang panik dan desak-desakkan.
“Belum lagi, ketika tembakan itu diarahkan ke tribun atas. Mereka yang panik harus menuruni tangga dan stadion mana pun pasti ada tribunnya itu berlapis atau bertingkat,” lanjutnya.
Dia berpendapat, itu menyebabkan, massa yang panik turun, berdesakkan, jatuh, dan sebagainya.
Hartono menambahkan, yang disesalkan pula 33 orang anak meninggal dan membuat semakin miris dan prihatin.
“Aparat keamanan harus intropeksi, bagaimana menangani kejadian preventif terkait kerusuhan sepak bola. Jangan disamakan ketika menangani kerusuhan massa di jalanan, demonstran, dan segala macam,” tambahnya.
Hartono menyampaikan, dia mendengar kabar pengurus PSSI Jawa Timur bahwa polisi telah mengetahui SOP larangan membawa gas air mata dan senjata api ke dalam stadion.
Dia mengungkapkan, muncul debat soal gas air mata yang kedaluwarsa.
“Ini masih perdebatan ada kontroversi. Pihak polisi bilang kalau sudah kedaluwarsa efeknya sudah berkurang, tapi ada juga yang bilang malah tambah berbahaya karena zatnya bisa berubah bukan lagi sekadar gas air mata tapi menjadi racun,” imbuhnya.
Oleh karena itu, dia mengatakan, masyarakat masih perlu menunggu hasil dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGPIF) Tragedi Kanjuruhan.
“Saat ini sedang bekerja mencari dan mengumpulkan data-data apa saja yang diperlukan,” sambungnya.
Sedangkan dari sisi suporter, Hartono mengungkapkan, ada perubahan pola fanatisme terhadap klub saat ini luar biasa tinggi.
“Kalau dulu, saya di di era 70 hingga 80-an, yang namanya suporter nonton bola membela suatu kesebelasan lawannya itu bisa duduk berdampingan, pulang jalan bareng. Sekarang ini memang terjadi pembelahan yang luar biasa di suporter banyak dalam era ini itu kalau saingan suporter itu ketemu itu selalu bentrok, berantem, dan ribut,” ungkapnya.
Dia menuturukkan, ini mungkin yang terjadi ketika Arema dengan Persebaya, seperti musuh bebuyutan.
“Meski sama-sama dari Jawa Timur tapi satu dan lain suporter fanatisnya sangat luar biasa. Tapi, saya kemarin, sudah mendengar berita mas Anto Baret, Aremania sudah mendeklarasikan diri bahwa Aremania bersahabat dengan semua suporter,” tuturnya.
Bagi Hartono, ini suatu kemajuan, yang mengisyaratkan, menikmati sepak bola itu sebagai hiburan. Dia menyarankan, agar pertikaian antar suporter dihentikan.