Scroll untuk baca artikel
Blog

Di Timur Matahari – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Di Timur Matahari – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

KE DAN dari manakah perjalanan terpanjang kita. Kau tak bisa menjawab, setiap aku bertanya tentang perjalanan. Rasanya setiap perjalanan begitu panjang. Tak bosan-bosan dan tak lelah-lelah. Dari kota ke kota Pantura atau kota-kota berbukit, menembus hutan berkabut. Selalu yang kau ingat adalah titik persinggahan, sebuah kota pertigaan. Antara timur-barat dan selatan, tapi kau mengatakan itu kota perempatan, kalau kita mau menyeberangi lautan. Sejak awal aku menyebut titik kota itu seperti nama akunmu, Srengenge.

Baiklah, lain waktu kita menyeberang, ke pulau-pulau yang belum kita singgahi. Bukankah negeri ini negeri kepulauan, setiap pulau mesti kita rengkuh dengan nyanyi. Lagu yang selalu kita nyanyikan bersama: di timur matahari mulai bercahaya…

Jadi ada tiga ciri wilayah di setiap daerah, sebagaimana di titik singgah itu. Pertama, wilayah pegunungan, dengan daerah berbukit dan berjurang, membuat masyarakatnya suka hidup bergotong-royong. Kedua, wilayah tengah, dengan daerah pertanian, dengan tradisi selamatan setelah panen, membuat masyarakatnya suka berpesta. Ketiga wilayah pantai, dengan daerah pesisir, di mana para nelayan hidup menarung nasib di tengah laut antara hidup dan mati, membuat masyarakatnya peka terhadap perkara kematian.

“Bukankah kita pasangan ideal,” cetusmu, “kamu orang pantai utara, aku dari wilayah selatan.” Ya, kamu suka bekerjasama, memberi derma, sodaqoh, dan aku… “Sumbu pendek!” tukasmu ketus menusuk, begitulah kamu dalam setiap perjalanan. “Sifat wilayah berpengaruh bagi watak manusianya, begitulah racikan menu kebudayaan bukan,” tuturmu sebagaimana sifat ibu yang kau simpan dalam. Termasuk pengaruh sosial politiknya.

Di era orde baru Pantura adalah sumbu pendek yang sewaktu-waktu bisa meledakkan chaos. “Seperti juga sifat personaemu, bisa meledak setiap saat, hanya karena ponsel yang tertinggal,” ingatmu, “juga saat rutin penderitaan masa m inkubasiku.”

* * *

DI TITIK kota persinggahan itu, kau ingat, aku pernah memimpin unjuk rasa. Aksi demo menentang pemimpin yang lebih mengutamakan klas ekonomi atas, dan menisbikan klas sosial bawah. Kau tertawa, bagaimana aku bisa menembus barikade keamanan. Bagaimana tidak. Aku tidak suka cara Agus, temanku, yang melawan militer dengan cara tentara: mari kita bergandengan tangan, maju selangkah, maju lagi… Kelamaan.

Aku ingat bagaimana dulu Martoloyo pergi menghadap ke Mataram dengan berkuda, menerobos hutan, naik-turun bukit dan jurang. Sedangkan Belanda? Belanda membuat jalan dulu, baru sampai Mataram. Itu sebabnya Belanda kelamaan menjajah kita, 100 tahun lebih! Aku bukan kolonial, kau tahu itu, bukan juga feodal.

Maka aku baca puisi, dan barikade bobol. Puisi yang aku bacakan pun sajak Chairil Anwar, Aku: aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Entah apakah keamanan itu mudeng: aku kok binatang jalang, dari kumpulan terbuang pula! Itulah kekuatan sajak Chairil.

Bagaimana dia memerdekakan bahasa Melayu dari keterjajahan, menjadi bahasa nasional. Bahasa Indonesia. Ya, Chairilah yang memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, dan relasinya tidak tanggung-tanggung.

Soekarno, Sjahrir, Bung Tomo berorasi menggunakan bahasa Chairil, tidak bahasa Melayu. Kalau mereka menggunakan bahasa Melayu, kapan merdekanya?

Kamu tertawa mendengar alasanku, mengapa aku membacakan puisi si binatang jalang, guna menjebol barikade sepatu, senjata dan kawat berduri. Tidak dengan membacakan puisi pamplet Rendra, misalnya. Wah mereka akan lekas mudeng. Sajak seonggok jagung, misalnya, siapa tidak tahu. Aku kan bisa lekas ditangkap dan digelandang. Tapi mendengar sajak Chairil mereka bingung, sambil dalam hati bilang: orang gila, biarkan saja!