Scroll untuk baca artikel
Terkini

Dilema Menjadi Ibu Tunggal atau Bertahan dalam Pernikahan Toxic

Redaksi
×

Dilema Menjadi Ibu Tunggal atau Bertahan dalam Pernikahan Toxic

Sebarkan artikel ini

Iyet Kowi, Research & Communication Officer Lentera Anak, secara psikologis, ibu tunggal merasa sendiri dan ketakutan bagaimana membesarkan anak sendirian.

BARISAN.CO – Memutuskan untuk tetap bertahan dalam pernikahan yang tidak berpisah merupakan salah satu keputusan tersulit yang diambil oleh orang tua. Misalnya, sebuah penelitian dari Real Fix mengungkapkan, 47 persen orang Inggris bertahan karena memiliki anak bersama dan satu dari empat diantaranya khawatir akan pandangan orang lain apabila mereka bercerai.

Penelitian seolah sejalan dengan stigma yang ada di masyarakat. Terlebih, jika melihat pandangan masyarakat bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua tunggal itu broken home.

Sehingga, meski, berada dalam pernikahan yang toxic, tak jarang, orang tua lebih memilih bertahan. Alasannya, demi anak-anak.

Seperti yang disampaikan, Iyet Kowi, Research & Communication Officer Lentera Anak, secara psikologis, ibu tunggal merasa sendiri dan ketakutan bagaimana membesarkan anak sendirian.

“Apalagi kalau ibu tunggal itu belum pernah bekerja dan belum memiliki keahlian. Itu yang membuat ketidaksiapan ekonomi menjadi perasaan tidak berdaya,” katanya pada Rabu (21/12/2022) dalam acara Mimbar Virtual: Mematahkan Mitos dan Dukungan terhadap Ibu Tunggal.

Sehingga, menurutnya, perasaan tidak berdaya itu membuat emosi yang berlarut-larut dan emosi itu kemungkinan bisa saja dilampiaskan kepada anak, yang akan membuat anak semakin terpuruk.

“Kemudian, yang sangat menyedihkan, terkadang tidak ada support dari lingkungan keluarga dan lingkungan kerja,” tambahnya.

Menurutnya, di satu sisi menjadi ibu tunggal sangat berat terutama membagi waktu antara bekerja, mengurus anak dan juga untuk me time. Dia mengingatkan, ibu harus memiliki waktu untuk dirinya sendiri.

“Berat sekali menjadi ibu tunggal. Tapi bagaimana dengan pernikahan yang toxic?” tanyanya.

Akibat pandangan negatif perceraian, terlebih, anak pun terkena imbas, Iyet menuturkan, ini membuat orang tua berusaha mencoba bertahan untuk mempertahankan status berpasangan agar dianggap masih memiliki status.

“Sementara, situasi rumah tangga kita tidak kondusif, kesehatan mental anak kita terganggu karena berantem setiap hari, anak bingung tertekan mau milih dan bela siapa?” terangnya.

Iyet menganjurkan jika kondisi itu terjadi, orang tua berkomunikasi dengan anak.

“Apabila tidak pernah mendengarkan pendapat anak, anak akan selalu merasa bingung dan tertekan. Jadi, bila kita dihadapkan dengan memilih ibu tunggal atau pernikahan toxic, maka kembali kita akan pikirkan kepentingan yang terbaik bagi anak,” urainya.

Selain itu, dia mengingatkan, ada kesehatan jiwa yang harus diselamatkan. [rif]