BARISAN.CO – Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan Ph.D mengatakan terdapat figur papan atas publik seperti Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang berbeda tipis dalam popularitas. Jika misalnya survei nasional menggunakan sampel 1200 dalam margin error kisaran 2,9 persen maka perbedaan antara para calon tersebut berada dalam rentang 2 kali margin of error, atau tidak terlalu signifikan perbedaannya. Jadi ketiga orang itu memang front runner saat ini.
Tetapi menjadi catatan menurut Djayadi adalah dari ketiga orang itu tidak ada yang dominan. Angka mereka berada pada kisaran 20-an persen jika diadu dengan banyak nama.
“Jika pada 2024 nanti ada 3 pasang calon yang paling mungkin misalnya, maka ketiga orang tersebut akan disebut mencapai angka dominan jika telah mencapai angka popularitas 30-35 persen diantara 10-15 nama. Tetapi saat ini angka mereka baru sekitar 20-25 persen saja,” sambungnya dalam Diskusi Online Forum Ekonomi Politik (Universitas Paramadina) dengan tema Misteri dan Serba Serbi Capres Dini, Rabu (1/9/2021)
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina mengartikanpilpres 2024 mendatang masih membuka peluang bagi siapapun untuk leading. Karena saat ini belum ada yang dominan. Beda dengan pilpres sebelumnya Prabowo dan Jokowi memang menjadi calon-calon yang dominan ketimbang calon yang lain.
Kemudian ada papan tengah (10 besar) terdapat nama AHY, Sandiuno, dan seterusnya. Terdapat juga nama-nama yang berada di luar 10 besar terpopuler seperti Puan Maharani, Cak Imin, dan Airlangga Hartarto yang menariknya adalah para figur partai politik.
Nama-nama itu berada di luar 10 besar salah satu alasannya adalah karena tingkat popolaritas mereka di mata publik masih di bawah 60 persen. Sementara Airlangga Hartarto dan Cak Imin popularitasnya masih di bawah 40 persen bahkan 30 persen saja. Hal itu data-data dari berbagai lembaga survey maupun lembaga yang dapat dipercaya.
AHY lebih baik posisinya berada di hampir 70 persen, dan Ganjar Pranowo sekitar 60 Persen. Itulah mengapa para calon di luar 10 besar ini memilih strategi memasang baliho, iklan di TV, sosmed untuk meningkatkan popularitas. Akan sangat sulit peluang yang diperoleh jika popularitas masih di bawah 70 persen.
Djayadi mengatakan mengapa yang dipilih ada baliho dan televisi ketimbang medsos, karena tingkat kepedulian publik pada medsos di Indonesia masih di bawah 60 persen dibanding TV yang berdasar survei penduduk masih 80 persen selalu ditonton oleh warga masyarakat.
Sementara itu, Direktur LP3ES Fajar Nursahid menyampaikan terdapat juga fenomena para figur politik jauh dari partai politik pengusungnya. Contoh dulu figure Jokowi dan SBY jauh melampaui popularitas partai pengusungnya.
“Saat ini figur yang diharapkan menjadi centrum pengaruh dari partai politik untuk meraih voters ternyata belum cukup kuat untuk mengangkat popularitas pecalonan dirinya,” lanjutnya
Fajar mencontohkan, kasus ini terjadi pada Puan Maharani yang kemudian membuat strategi baliho masif untuk mendongkrak daya pikat bagi voters, sementara dalam realitasnya Ganjar Pranowo yang ternyata bersanding di figure terpopuler papan atas bersama Anies Baswedan.
“Hal itu menjadi menarik untuk dikaji mengapa orang-orang yang punya kendali kuat di partai politik ternyata tidak cukup punya favorability ketimbang mereka yang di luar centrum partai politik seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo,” tutur Fajar.