Scroll untuk baca artikel
Pendidikan

Disrupsi dan Ancaman Dunia Pendidikan

Redaksi
×

Disrupsi dan Ancaman Dunia Pendidikan

Sebarkan artikel ini

Selain itu banyak pekerjaan akan tergantikan oleh kehadiran mesih pintar ini. Salah satu yang diprediksi bakal tergusur adalah guru/dosen.  Jika fungsi guru/dosen hanya transfer ilmu semata, maka ChatGPT pasti bisa menggantikannya dengan lebih baik.

Bagaimana pendidikan Indonesia menghadapi era disrupsi yang penuh peluang sekaligus kejam ini? Sebuah pertanyaan yang tak kalah merisaukan.  Kehadiran ChatGPT sudah sangat merisaukan dunia pendidikan. Tapi pertanyaan tentang bagaimana pendidikan Indonesia saat ini jauh lebih merisaukan.

Betapa tidak, untuk kurun 20 tahun terakhir, prestasi pendidikan Indonesia selalu berada dalam jajaran terburuk di dunia. Berdasar hasil asesmen PISA (Programme for International Student Assessment) yang dikeluarkan Oraganisasi OECD, di mana Indonesia didalamnya. Mutu pendidikan Indonesia selalu berada diurutan butut untuk bidang literasi, matematika dan sain. Atas capaian ini Bank Dunia bahkan meramal Indonesia dalam posisi tak siap menghadapi era global.

Bisa dipahami jika hal dasar literasi saja kita rendah, didukung ketrampilan logika berfikir melalui pelajaran matematika juga rendah. Maka apa yang bisa diharap dari dunia pendidikan kita untuk bicara inovasi dan kreatifitas yang menjadi tulang punggung kehidupan abad 21. Mutu kecerdasan macam apa yang dimiliki siswa kita, ketika nutrisi otak yang bersumber dari literasi dan logika mengalami ‘defisiensi’?

Bukan tak ada ikhtiar,  Sejak tahun 2000, saat Indonesia menjadi anggota OECD dan mengikuti program asesmen PISA. Pemerintah telah melakukan setidaknya tiga kali perubahan kurikulum (KBK, KTSP dan Kurtilas). Semua perubahan itu sudah mempertimbangkan ‘kisi-kisi’ asesmen PISA.  Namun semua usaha perubahan tak memberikan hasil signifikan.

Pendidikan nasional kita seperti sedang dalam posisi jalan buntu. Stagnan. Tak bergerak. Dan ajaibnya,  keadaan seperti itu disikapi biasa-biasa saja. Tak ada gaduh dan risau saat dunia pendidikan sedang di ‘tepi jurang’ keterpurukan. Lebih tak terbayang lagi ketika generasi yang telah terpuruk pendidikannya saat ini kelak akan memimpin bangsa ini di masa mendatang.  Yakni pemimpin yang miskin literasi dan rendah logika serta lemah basis ilmu pengetahuan.

Memang, risau saja tak cukup. Hari ini dunia pendidikan kita butuh  terobosan besar dan mungkin radikal untuk terjadi percepatan perubahan. Belajar dari perusahaan raksasa Nokia yang lambat antisipasi perubahan dan hanya melakukan perubahan alakadarnya (minim inovasi). Telpon genggam ‘sejuta umat’ itu berakhir tragis: tergusur dan tumbang.