Bisa dipahami jika hal dasar literasi saja kita rendah, didukung ketrampilan logika berfikir melalui pelajaran matematika juga rendah. Maka apa yang bisa diharap dari dunia pendidikan kita untuk bicara inovasi dan kreatifitas yang menjadi tulang punggung kehidupan abad 21. Mutu kecerdasan macam apa yang dimiliki siswa kita, ketika nutrisi otak yang bersumber dari literasi dan logika mengalami ‘defisiensi’?
Bukan tak ada ikhtiar, Sejak tahun 2000, saat Indonesia menjadi anggota OECD dan mengikuti program asesmen PISA. Pemerintah telah melakukan setidaknya tiga kali perubahan kurikulum (KBK, KTSP dan Kurtilas). Semua perubahan itu sudah mempertimbangkan ‘kisi-kisi’ asesmen PISA. Namun semua usaha perubahan tak memberikan hasil signifikan.
Pendidikan nasional kita seperti sedang dalam posisi jalan buntu. Stagnan. Tak bergerak. Dan ajaibnya, keadaan seperti itu disikapi biasa-biasa saja. Tak ada gaduh dan risau saat dunia pendidikan sedang di ‘tepi jurang’ keterpurukan. Lebih tak terbayang lagi ketika generasi yang telah terpuruk pendidikannya saat ini kelak akan memimpin bangsa ini di masa mendatang. Yakni pemimpin yang miskin literasi dan rendah logika serta lemah basis ilmu pengetahuan.
Memang, risau saja tak cukup. Hari ini dunia pendidikan kita butuh terobosan besar dan mungkin radikal untuk terjadi percepatan perubahan. Belajar dari perusahaan raksasa Nokia yang lambat antisipasi perubahan dan hanya melakukan perubahan alakadarnya (minim inovasi). Telpon genggam ‘sejuta umat’ itu berakhir tragis: tergusur dan tumbang.
Dan hari ini, sepertinya risau saja kita belum! Entah mau apa apalagi!