“Fenomena ini menyebabkan anak muda menjadi seperti kutu loncat dalam mengerjakan berbagai hal dan ingin menonjol sendiri dibandingkan yang lain,” ucapnya.
Hal tersebut menjadi tantangan karena adanya tanda tanya besar bagi generasi muda terkait ke mana arah loyalitas mereka dituju, terutama dalam konteks nasionalisme. Entah loyalitas mereka mengarah ke budaya Kpop, budaya barat, atau budaya Indonesia sendiri.
“Dampak selanjutnya ialah rendahnya real life skill. Mereka menjadi tidak bisa bekerjasama dalam tim, tidak bisa berkolaborasi, semua ingin tampil sendiri-sendiri, sulit dalam decision making, long-term practice tidak ada, real life problem solving rendah, dan tidak adanya perubahan dalam masyarakat,” sambung Rosyid.
Rosyid juga menerangkan mengenai solusi dalam mengatasi disrupsi pada generasi muda Indonesia ini.
“Solusinya kita harus kembali menjaga akar kita. Akar kita itu yaitu kita sebagai orang Indonesia, kita sebagai orang daerah, kita sebagai bagian dari organisasi yang lahir di Indonesia. Kita harus menguatkan kebhinekaan, Pancasila, dan Islam toleran yang masih diperdebatkan. Kita harus menyadari bahwa Indonesia itu beragam, kita mempunyai Pancasila, menjadi orang yang mempunyai tata krama dan mengambil hal-hal positif dari adat istiadat dan modernitas pada era sekarang ini,” terang Rosyid.[]