Scroll untuk baca artikel
Terkini

Disrupsi Globalisasi pada Generasi Muda Indonesia

Redaksi
×

Disrupsi Globalisasi pada Generasi Muda Indonesia

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Era globalisasi merupakan tatanan kehidupan manusia yang mengalami perubahan secara mendunia. Globalisasi ditandai dengan kemajuan zaman baik dari segi teknologi, ekonomi, maupun budaya. Dalam globalisasi sendiri dapat menciptakan transfer teknologi yang canggih. 

Menurut observasi M. Rosyid Jazuli seorang Mahasiswa Doktoral University College London dan Pengurus PCI NU UK, Inggris, dalam Serial Webinar Musyawarah Indonesia “Meneguhkan Jiwa Bangsa pada Generasi Digital” pada Kamis (12/08/2021) lalu, terjadinya transfer teknologi ini dapat menciptakan asian miracle, yang merupakan kemajuan pesat yang dialami oleh negara-negara Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea, bahkan Tiongkok.

Rosyid juga berpendapat bahwa globalisasi dapat menciptakan disrupsi. Disrupsi merupakan perubahan berbagai sektor akibat adanya globalisasi. Contohnya dijelaskan oleh Rosyid berdasarkan pengalamannya. 

Pada saat dia melihat orang-orang di kampung halamannya membuka media sosial, terjadi transfer identitas yang sangat pesat melalui media sosial. Mereka menjadi gundah dengan identitas sebagai bangsa Indonesia. 

Dengan akses media sosial yang mudah, mereka dengan cepat terekspor informasi dari berbagai daerah, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga mereka kurang bisa memfilter informasi apa saja yang masuk. Hal ini membuat mereka sebagai orang Indonesia dapat terdisrupsi.

Disrupsi dalam kemajuan globalisasi dapat kita lihat dari bagaimana fenomena krisis ekonomi dan krisis lain yang terjadi dapat menyebar secepat kilat ke berbagai daerah, seperti krisis 98, krisis 2007, dan krisis pandemi yang terjadi saat ini. Khusus untuk generasi muda Indonesia, krisis yang dihadapi mengarah ke unifikasi standar kesuksesan. 

Menurut Rosyid, unifikasi ini menyebabkan adanya pemikiran bahwa anak muda harus sukses di usia yang sangat muda. Misalkan standarnya usia 28 harus menjadi Chief Executive Officer (CEO). Tentu hal ini tidak dapat disamaratakan dengan standar di Indonesia sendiri. 

Unifikasi ini merupakan pengaruh dari standar negara lain, terutama negara-negara barat di mana letak perbedaannya ialah terdapat culture seperti majalah Forbes yang memuat konten 30 under 30. Sehingga menyebabkan timbulnya pemikiran jika ingin sukses harus ke luar negeri.

Rosyid juga menjelaskan, generasi muda indonesia yang memiliki sopan santun dan tata krama, dengan adanya globalisasi menjadi berbenturan dengan gagasan egalitariansme. Hal ini berdampak dengan generasi muda yang menjadi instant gratification dan self centered.

“Fenomena ini menyebabkan anak muda menjadi seperti kutu loncat dalam mengerjakan berbagai hal dan ingin menonjol sendiri dibandingkan yang lain,” ucapnya. 

Hal tersebut menjadi tantangan karena adanya tanda tanya besar bagi generasi muda terkait ke mana arah loyalitas mereka dituju, terutama dalam konteks nasionalisme. Entah loyalitas mereka mengarah ke budaya Kpop, budaya barat, atau budaya Indonesia sendiri. 

“Dampak selanjutnya ialah rendahnya real life skill. Mereka menjadi tidak bisa bekerjasama dalam tim, tidak bisa berkolaborasi, semua ingin tampil sendiri-sendiri, sulit dalam decision making, long-term practice tidak ada, real life problem solving rendah, dan tidak adanya perubahan dalam masyarakat,” sambung Rosyid.

Rosyid juga menerangkan mengenai solusi dalam mengatasi disrupsi pada generasi muda Indonesia ini.

“Solusinya kita harus kembali menjaga akar kita. Akar kita itu yaitu kita sebagai orang Indonesia, kita sebagai orang daerah, kita sebagai bagian dari organisasi yang lahir di Indonesia. Kita harus menguatkan kebhinekaan, Pancasila, dan Islam toleran yang masih diperdebatkan. Kita harus menyadari bahwa Indonesia itu beragam, kita mempunyai Pancasila, menjadi orang yang mempunyai tata krama dan  mengambil hal-hal positif dari adat istiadat dan modernitas pada era sekarang ini,” terang Rosyid.[]