DAHULU kumpeni datang ke wilayah nusantara membawa armada dengan maksud berdagang. Semula berupa kulakan barang dagangan yang laku dijual di benua Eropa. Perdagangan hanya dilakukan di bandar (Pelabuhan) dan sekitarnya. Perdagangan bersifat sukarela, suka sama suka dengan penduduk lokal.
Kebutuhan akan barang dagangan cukup banyak dan bernilai besar. Kumpeni memiliki modal yang besar, sehingga posisi tawarnya dalam berdagang makin kuat di banyak kota pelabuhan. Bahkan, posisinya berkembang menjadi monopoli sebagai pembeli.
Berjalan waktu, permintaan barang di Eropa meningkat pesat yang menjanjikan keutungan lebih besar. Armada pun mudah ditambah seiring dengan banyaknya investor dan akumulasi laba yang diinevestasikan. Namun, hanya menguasai daerah pelabuhan terasa kurang menjamin pasokan.
Kumpeni pun beringsut mencari barang dagangan ke daerah yang lebih jauh. Kebutuhan petugas keamanannya menjadi berlipat, dan dipersenjatai lengkap. Tampilannya cukup intimidatif untuk “memaksakan” kehendak dalam berdagang. Berbagai “persekutuan” dengan penguasa lokal pun bisa dibangun untuk melancarkan dagang.
Tidak cukup dengan langkah itu. Kumpeni berupaya mengamankan jalur distribusi pasokannya. Antara lain dengan membangun jalan, perkantoran dan sarana pendukung lainnya.
Ternyata, pasokan masih dirasa kurang untuk memenuhi permintaan di Eropa. Mulai lah kumpeni bertani sendiri dan “meminta” kaum pribumi bertani komoditas yang diinginkan. Semula masih berimbal hasil yang cukup menguntungkan bagi rakyat, namun perlahan makin menjerat.
Berbagai fenomena itu kemudian hari disebut sebagai era kerja paksa dan tanam paksa. Secara keseluruhan disebut sebagai era kolonial atau penjajahan.
Anehnya, kumpeni justru bangkrut sebagai korporasi. Analisis ahli menyebut sebab utamanya adalah korupsi. Mungkin ada kaitan dengan istana mewah dan gaya hidup para petinggi kumpeni. Termasuk kedoyanan mereka memelihara puluhan gundik.
Penjajahan kemudian diambil alih oleh negara Belanda dari kumpeni yang merupakan korporasi. Dari sisi kaum pribumi tetap tampak sebagai kumpeni. Tidak ada bedanya.
Kaum pribumi sebenarnya terus melawan di berbagai wilayah dalam banyak kesempatan. Namun bersifat sporadis dan selalu dapat diredam oleh kumpeni. Kumpeni juga selalu memiliki centeng pribumi, mulai dari tukang pukul hingga yang tampak sebagai raja atau bangsawan.
Perjuangan kaum pribumi akhirnya beroleh momentum. Selain karena makin banyak rakyat yang pintar, ada momen perang dunia dan suasana perubahan besar dalam dinamika politik dunia. Indonesia pun berhasil diproklamirkan sebagai negara merdeka.
Satu dua dekade setelah merdeka, ternyata kumpeni tidak benar-benar pergi dari wilayah nusantara. Mereka masih ada, berdagang dengan aktif. Memang tak ada VOC (korporasi kumpeni) dan bukan pula sebagai negara penjajah. Etnis dan negara bangsa sebagai representasi kumpeni bertambah.
Resminya kembali ke suasana awal berabad sebelumnya, yakni berdagang secara sukarela. Kumpeni kali ini tidak hanya “kulakan” barang, melainkan juga menjual. Secara statistik menjadi data ekspor dan impor terhadap negara Indonesia.
Faktanya kemudian, “kumpeni baru” memperoleh untung yang lebih besar. Mereka menjual motor, mobil, TV dan semacamnya. Mereka membeli minyak, mineral, hasil pertanian, dan lainnya. Istilah teknis ekonominya, tercipta nilai tukar yang menguntungkan kumpeni.
Perkembangan ekonomi dunia dan model transaksi bertahun-tahun kemudian, membawa kumpeni memiliki jenis bisnis baru. Yaitu memberi utang kepada berbagai pihak di Indonesia, terutama kepada pemerintah. Investasi dan bisnis utang ternyata sangat menguntungkan.
Mereka tentu tidak ingin investasi besar dan keuntungannya lenyap akibat hiruk politik Indonesia. Sebagaimana dahulu, perlahan kumpeni “berpartisipasi” dalam dinamika sosial politik domestik untuk mengamankannya. Bahkan, ada yang berpendapat telah berupa ikut campur sangat jauh.
Selama satu dekade terakhir tampaknya kumpeni kembali tertarik masuk lebih dalam ke berbagai wilayah dan “ruang hidup” Indonesia. Mereka tak hanya ingin migas, mineral, energi dan semua produksi modern. Melainkan juga ingin menanam buah, budidaya ikan, bisnis jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan lain sebagainya.
Agar ada jaminan untung yang langgeng, tidak cukup dengan “mempengaruhi” dinamika sosial, hukum dan politik saja. Kumpeni mengamankan kepentingan bisnis dan rencana bisnis masa depannya, dengan turut mengatur ketersedian jalan, pelabuhan, bandara dan semacamnya.
Dibanding era penjajahan dahulu, ada yang sedikit berubah, yaitu peran ilmu pengetahuan dan para akademisi tukangnya. Termasuk ahli ilmu ekonomi dari kalangan pribumi. Mereka membantu menjelaskan secara ilmiah bahwa investasi asing dan berutang merupakan syarat agar Indonesia bisa tumbuh dan berkembang.
Dongeng semacam itu dapat dibumbui dengan menyebut secara langsung pelakunya. Misal dahulu sempat ada Portugis, kemudian Belanda, lalu Jepang. Nah kini, setelah sekian lama kumpeni dari benua Barat memperoleh saingan dari Tiongkok dan Korea. Peran Singapore sebagai perantara atau makelar utama pun memberi warna tersendiri.
Lantas, apa kita mau menyalahkan para kumpeni, terlepas dari apapun bangsa dan negaranya? Mereka memang berupaya mencari keuntungan dan menyejahterakan rakyatnya sendiri.
Mesti diingat bahwa Indonesia merdeka dahulu tidak dengan jalan mengemis kepada kumpeni, meski ada diplomasi dan perundingan. Oleh karena kondisi kini lebih kompleks, maka kerja keras dan kerja cerdas amat diperlukan. Pemimpin politik, petinggi otoritas ekonomi, dan pelaku usaha utama mustinya bisa “memimpin” dan mengarahkan rakyat dan bangsa ini. Sekurangnya, bernegosiasi sebagai suatu bangsa untuk dapat menikmati kemakmuran dunia bersama-sama. Jangan kumpeni saja lah yang sejahtera.
Perlu diingat, salah satu yang mempersulit kemerdekaan adalah keberadaan amtenar dan antek kumpeni dari bangsa sendiri. Tampak demikian pula kondisinya saat ini. [rif]